Judul Buku :
Perempuan Kedua
Pengarang :
Labibah Zain
Tahun Terbit : 2008
Oleh : Qismatun Nihayah
Buku kumpulan cerita pendek (cerpen)
“Perempuan Kedua” karya Labibah Zain berkisah tentang realita perempuan dari
berbagai sudut. Ia menceritakan tentang perempuan dengan gamblang. Bahwa
perempuan bisa tangguh. Bisa pula rapuh. Bisa setia. Bisa pula membagi cinta dengan
cara jadi perempuan kedua. Dalam buku tersebut terdapat tiga belas judul cerpen
yang di dalamnya menyangkut cinta, daya juang, hingga masalah sosial. Dalam
kumpulan cerpen tersebut berisi tiga belas judul cerpen yang menarik untuk
dibaca, yakni: Aina, Perempuan Kedua, Sepotong Wajah, Fragmen Musim Gugur,
Perempuan Pencari Dada Ibu, Calana Dalam, Kamar Berlumut, Laily, Ma’e,
Perempuan Cahaya, Rumah di Seberang Kuburan, Awan Menangkap Rembulan, dan Hari
Ini Ada yang Mati Lagi.
Labibah
Zain menceritakan dengan jelas dari sisi perempuan yang sering kali disakiti,
juga tidak jarang terjepit oleh pilihan yang tidak sama sekali tidak
menguntungkan bagi perempuan. Seperti yang diceritakan dalam salah satu cerpen dalam buku tersebut yakni
“Aina”. Disitu diceritakan Aina adalah seorang syarifah (sebutan untuk
perempuan yang mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah, putri
Rasulullah Muhammad Saw) yang menjalin hubungan dengan ahwal (sebutan
untuk orang yang tidak mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah, putri
Rasulullah Muhammad Saw). Namun dalam keluarganya seorang syarifah tidak
boleh menikah dengan seorang ahwal. Jika ia menikah dengan seorang ahwal
maka keturunan selanjutnya akan terputus sebagai syarifah atau habib
(sebutan untuk lelaki yang mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah,
putri Rasulullah Muhammad Saw). Lalu ia dijodohkan dengan Haidar seorang habib
pilihan keluarganya. Namun ia masih menjalin hubungan dengan Hartono, seorang
ahwal yang ia cintai. Ia tidak diberi kesempatan memilih oleh keluarganya.
Akhirnya ia memutus hubungan dengan Hartanto dan menikah dengan Haidar. Namun
setelah menikah hidupnya tidak bahagia. Ia tidak diperlakukan baik oleh Haidar.
Bahkan setelah tiga bulan ia menikah Haidar menikah diam-diam dengan perempuan
lain. Haidar dendam terhadap Aina karena dahulu pernah dicampakkan dan lebih
memilih Hartoto. Menurutnya ini tidak seberapa dibanding sakit hatinya dahulu
saat ia dicampakkan oleh Aina. Bukan hanya itu Aina juga sering dipukul oleh
Haidar. Aina tidak betah dengan suaminya, namun ia tidak berani mengadu. Ia
tidak tahu ingin mengadu kepada siapa. Ia juga takut jika ia bercerita kepada
ibunya akan menyakiti ibunya, karena ibunya sedang menderita penyakit jantung.
Akhirnya ia memilih diam. Di sini jelas digambarkan seorang perempuan yang
tersudut oleh pilihan yang tidak ia inginkan. Bahkan hanya sekadar mencurahkan
isi hatinya pun ia tak kuasa demi
menjaga perasaaan orang lain. Meski ia sakit.
Dalam kumpulan cerpen “Perempuan
Kedua”, Labibah Zain menyajikan potret kaya ekspresi, selain secara gamblang
memaparkan kondisi perempuan, ia telaten memperhatikan keinginan, harapan,
kesedihan, termasuk yang membuat para perempuan bahagia. Termasuk yang ia
ceritakan dalam cerpennya yang berjudul “Perempuan Cahaya”. Di dalamnya ia
menceritakan seorang perempuan yang selalu dikhianati oleh lelaki, namanya Ely.
Ia memiliki teman yang selalu setia mendampinginya saat ia terpuruk karena
hatinya telah disobek-sobek oleh lelaki, ia memanggilnya kak Arum. Kak Arum
adalah teman yang ia kenal saat menuntut ilmu di negeri seberang. Tapi
hubungannya merenggang saat ia dekat dengan lelaki yang masih menjadi suami
orang. Kak Arum menasihati agar menjauhinya tapi Ely tetap melanjutkan
hubungannya bersama lelaki tersebut dan lebih memilih menjauh dari kak Arum.
Tapi setelah itu Ely kembali dikhianati lelaki tersebut yang hanya memanfaatkan
Ely. Akhirnya Ely kembali berteduh kepada Kak Arum. Kak arum laksana cahaya yang
selalu menerangi Ely saat gelap tak tahu arah.
Kak Arum
telah memiliki seorang suami yang soleh serta dua orang anak yang lucu. Mereka
sangat dekat dengan Ely meski telah terpisah karena kak Arum harus kembali ke
negerinya bersama suami serta dua anaknya. Suatu ketika ia bermimpi bertemu
dengan kak Arum dan kedua anaknya yang sedang bermain di taman. Di wajah kak
Arum, ia melihat kesedihan. Wajahnya begitu sendu. Namun kak Arum menguatkan
diri sembari berbisik.
“Aku dan anak-anak baik-baik saja di
sini. Kau lihat sendiri kan, El? Anak-anakku berumah di taman itu.
Burung-burung itu menjadi penjaga mereka dan batu-batuan bernyanyi bersama
mereka. Satu yang aku cemaskan. Bang Edi tak bisa aku ajak serta. Aku tahu dia
sangat terpukul dan kesedihannya membuatku menangis. Berjanjilah, El! Kau akan
mengatakan pada bang Edi bahwa aku dan anak-anak baik-baik saja di sini.
Berjanjilah, El, bahwa kau mau menjaga dan merawatnya dalam sebuah rumah.”
Saat ia terbangun dari mimpinya ia
tersentak, karena ia sadar bahwa kak Arum telah meninggal dunia terseret arus
tsunami beserta anak-anaknya saat suaminya seminar di Jakarta, Desember tahun
lalu. Ia mencoba mengartikan mimpinya. Tapi ia gagal. Lalu ia segera mengambil
al-Quran untuk menenangkan hatinya serta berharap lantuan ayat-ayat yang
dibacanya akan menambah kebahagiaan kak Arum beserta anak-anaknya di alam barzakh.
Tepat pada ayat terakhir surat Yasin teleponnya berbunyi. Lalu ia
mengangkatnya. Ternyata dari Bang Edi, suami kak Arum. Sebelum ia bercerita
tentang mimpinya, bang Edi mendahuluinya dengan berkata, “Ely, maukah kau jadi
istriku?”. Ely tercekat, tetapi tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.
Dalam cerpen tersebut Labibah Zain
menampilkan cerita dari sudut perempuan, sebuah kebahagiaan yang tidak ia duga
datangnya dan takdir yang begitu indah yang bisa datang dari hal yang tidak
pernah ia minta, bahkan tidak pernah terpikir olehnya. Labibah Zain juga
menceritakan bahwa perempuan terlibat dengan seluruh persoalan, baik secara
pribadi yakni masalah rumah tangga sampai pada masalah sosial yang berpengaruh
besar dalam kehidupan, seperti kemiskinan, pendidikan, serta kesetaraan
derajat. Seperti yang ia gambarkan dalam cerpennya yang berjudul “Laily” ia
menggambarkan dengan jelas bahwa perempuan belum mempunyai kesetaraan derajat
yang diakui masayarakat. Di dalamnya diceritakan Laily adalah seorang perempuan
sukses yang gajinya melebihi suaminya. Meski begitu ia tidak pernah sekalipun
merendahkan suaminya. Walaupun ia tidak pernah mempermasalahkan gaji suami yang
pas-pasan. Ia merasa suaminya tidak menyukainya terhadap derajat karrirnya yang
lebih tinggi. Meski ia diakui sukses oleh masayarakat namun tak bisa dipungkiri
bahwa perempuan yang terlalu sibuk dengan pekerjaanya dianggap durhaka terhadap
suami. Malangnya lagi setelah delapan tahun ia menikah, ia tidak juga
dikaruniai anak. Suatu ketika suaminya meminta mengadopsi anak tetangga sebelah
yang tidak tahu ayahnya kemana. Setelah diadopsi Laily tidak suka dengan
perlakuan anak tersebut yang tidak sopan. Lalu ia membentaknya, namun bentakan
itu membuat suaminya marah. Ia tidak terima dengan perlakuan Laily. Ditamparnya
Laily, dilemparkan beberapa cambukan sabuk di atas badan Laily. Lalu Laily
diusir dari rumah. Berkali-kali Laily menggedor pintu, namun tak kunjung dibuka
olah suaminya. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di rumah temannya sementara
sembari menghilangkan traumanya atas perlakuan suaminya. Seminggu kemudian
Laily beranikan diri untuk datang ke kampus. Ia mendapati pandangan iba dari
beberapa orang yang ada di sana. Ternyata berita yang tersebar selama ia
berdiam diri di rumah temannya adalah ia meninggalkan rumah dengan keadaan
hilang ingatan. Memang, istri meninggalkan suami adalah aib yang tak terkira,
dan pantas diperlakukan apa saja sebagai imbalannya. Yang tak kalah menyakitkan
dari berita yang beredar adalah suaminya mengakui bahwa anak yang ia adopsi
beberapa hari lalu adalah anak kandungnya hasil pernikahan siri dengan ibu anak
tersebut saat Laily berjuang menyelesaikan tesisnya di luar negeri enam tahun
lalu.
Dalam cerita tersebut diceritakan
betapa beratnya menjadi perempuan. Keadilan berupa kesetaraan derajat terhadap
perempuan belum begitu diakui masyarakat. Menjadi perempuan mandiri terkadang
malah berdampak menimbulkan masalah terhadap diri sendiri. Masalah sosial yang
menjerat perempuan yang lain adalah kemiskinan yang terkadang membuat perempuan
yang terpaksa melakukan pilihan yang tidak ia inginkan. Seperti yang Labibah
Zain ceritakan dalam salah satu cerpennya yang berjuduk “Ma’e”. Labibah Zain
menceritakan kebringasan laki-laki yang menjadikan perempuan-perempuan malang
menjadi korbannya. Salah satunya adalah perempuan dalam cerita “Ma’e” ini. Ia
dilahirkan tanpa seorang ayah. Ia selalu disudutkan oleh pergaulan di kampungnya
hanya karena ia anak jadah (anak yang lahir di luar nikah). Sampai
dewasa ia telah kenyang dengan cemoohan warga. Ia hidup dalam keterbatasan
materi. Hingga akhirnya ia kuliah di luar kota, ia berjanji akan membahagiakan
ibunya, akan membebaskan ibunya dari kemelaratan yang selama ini menjeratnya.
Ia bekerja keras sambil kuliah. Tragisnya di tengah perjalanan ia bekerja
keras, di tanah kelahirannya terkena longsor dan rumahnya hancur di telan bencana
itu. Ia semakin sedih melihat ibunya tinggal di tenda. Ia ingin segera
membangun rumah untuk ibunya yang sedikit layak. Tentunya ia harus bekerja lebih
keras lagi. Akhirnya ia terpaksa memilih untuk kawin kontrak dengan lelaki
bejat yang memang selalu kawin kontrak dengan perempuan lalu di tinggal setelah
itu mencari pengganti baru dan seterusnya. Semua itu terpaksa ia lakukan karena
ia ingin segera mendirikan rumah untuk ibunya yang tinggal di tenda pengungsian.
Setelah tiga bulan ia kawin kontrak ia mendapatkan uang yang cukup untuk
membangun rumah untuk ibunya. Lalu ia pulang untuk menemui ibunya. Sesampainya
di kampung halaman, ia dikejutkan oleh tetangga-tetangganya yang mengatakan
bahwa ayahnya telah datang. Ia heran, tetangganya yang selama ini mencelanya
memberikan sambutan senyum kepadanya. Setelah sampai di depan tenda pengungsian
ibunya, ibunya berkata,
“Apa
kataku, ayahmu pasti datang. Ciumlah tangan ayahmu nak!”
Ibunya menunjuk pada lelaki yang baru saja
keluar dari tenda. Ia terpana, lekaki itu pun terpana. Kemudian ibunya
menceritakan perihal perkawinan kontraknya dengan ayah. Ayahnya salah tingkah.
Begitu pula dengannya. Betapa tidak. Ayahnya adalah suami kontraknya. Dalam
cerita tersebut sungguh memilukan, bahwa kemiskinan membuat perempuan memilih
pilihan yang menyakitkan demi kebahagiaan ibunya. Justru malah ia kawin kontrak
dengan ayah kandungnya sendiri.
Pada puncaknya Labibah Zain
menceritakan dalam cerpen “Perempuan Kedua” yang bercerita tentang keteguhan
hati perempuan yang rela dimadu oleh suaminya. Alasan suaminya adalah ingin
membahagiakan janda dan menyantuni anak yatim. Istrinya menyetujuinya. Tetapi
pada akhirnya saat suaminya pergi melamar janda yang ingin ia jadikan istri
kedua, istrinya menyelipkan surat di pot bunga di teras rumahnya bahwa ia
pulang kepada orang tuanya. Ia menggugat cerai suaminya dan meminta agar
membahagiakan janda beserta anak janda tersebut. Malangnya pada lamarannya
kepada janda tersebut sang suami di tolak. Pada akhirnya ia hidup sendiri.
Labibah Zain meceritakan betapa mudahnya lelaki mengkhianati ikatan suci
pernikahan dengan alasan yang membuat orang iba. Padahal sebenarnya lelaki
hanya tak dapat mengendalikan nafsunya.
Labibah Zain memainkan berbagai
variasi permasalahan individu dan sosial yang di dalamnya ada harapan pada
idealitas, korban patriarkhi, pengaruh mistik dan takhayul, dan masih banyak
lagi. Ia mengemas kata-kata sederhana tetapi penuh makna sehingga tersampaikan
maksud yang ia ceritakan. Kisah-kisah tersebut bisa terjadi pada semua
perempuan, di Indonesia maupun luar negeri, baik kota maupun desa. Ia menulis
dengan pesan yang jelas, dekat dengan kisah nyata yang ada, serta beberapa ada
yang mengandung humor kuat.