Judul Buku : Bangga
Aku Jadi Rakyat Indonesia
Pengarang : 51
Penyair Pilihan
Tahun Terbit : 2012
Oleh : Qismatun Nihayah
Kemerdekaan.
Itulah yang diagung-agungkan para pejabat negara. Iya. Indonesia telah merdeka
sejak 69 tahun yang lalu. Bebas dari penjajahan bangsa
lain. Rakyat indonesia telah mampu tersenyum, harusnya. Tapi apakah kemerdekaan
tersebut sudah dirasakan seluruh rakyat indonesia? Kurasa seluruh lapisan di
negeri nan indah ini telah mengetahui jawabannya. Tapi pernahkah mereka
menengok saudara-saudaranya yang peluh dengan kemiskinan. Kita perlu prihatin.
Mereka hanya berbicara seolah kita harus maju. Tapi kenyataannya mereka
mengabaikan generasi yang akan membela tanah air seterusnya. Mereka biarkan
rakyat kecil menangis, mengiba, kelaparan, sengsara. Itulah kiranya gambaran
negeri kita ini. Negeri Indonesia.
Dalam
buku antologi puisi “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia” yang di dalamya berisi
coretan pena oleh 51 penyair pilihan berisi kritik sosial. Membaca buku tersebut
membawa kita seakan dekat dengan berbagai kehidupan yang ada di negeri ini. Di
dalamnya berisi kisah sehari-hari yang dirangkai dalam kata-kata berbentuk
puisi. Tentu di dalamnya menggambarkan kehidupan rakyat Indonesia. Sebagai
salah satu potret rakyat kecil yang ada di negeri ini juga dituliskan dalam
puisi di dalam buku tersebut. Seperti dalam puisi “Doa Orang Miskin’’ karya
Abah Yoyok. Di dalamnya menggambarkan betapa sabarnya orang miskin menghadapi
hidup tanpa diperhatikan penguasa yang saling berkhianat. Mereka yang semakin
terpuruk hanya mampu berdoa agar mampu melawan orang-orang berkuasa yang tak
tahu diri di negeri ini. Di buku tersebut juga menguraikan keadilan yang begitu
aneh dirasakan oleh masyarakat. Penyair Endang Werdiningsih menyairkannya dalam
puisi “Tragedi Sandal Jepit”. Ia mengutarakan tentang hukuman lima tahun bagi
anak kecil yang mencuri sandal jepit. Sedangkan
pencuri-pencuri di bangku terhormat sedikit disepelekan kasusnya.
Jika
memahami lebih dalam negeri ini, memang banyak permasalahan sosial yang masih belum
terselesaikan. Bahkan sangking kebalnya, masalah itu semakin membudaya. Dari
permasalahan politik yang berkuasa hingga rakyat kecil. Dalam buku puisi “Bangga
Aku Jadi Rakyat Indonesia” banyak sekali puisi yang menyinggung tentang
penguasa di negeri ini. Diantaranya: DPO Koruptor, Kerudung, Beri Aku Lupa,
Kemana Kau Bawa Negeri Ini, Perihal Janji, Interupsi, Kepada Wakil Rakyat, dan
masih banyak lagi. Dalam puisi “Perihal Janji” Boedi Ismanto S.A menyinggung
para pejabat negeri yang suka mengumbar janji dan akan ingkar setelah mereka
berkuasa. Di dalam buku tersebut juga menyinggung zaman yang semakin rusak dengan
generasi yang tak tahu diri. Seperti dalam puisi “Isyarat” karya Abah Yoyok.
Dalam puisi tersebut menjelaskan bahwa kaum muda sekarang yang semakin rusak.
Kaum muda zaman sekarang tidak asing lagi dengan alkohol, ganja, dan barang
haram lainnya. Bahkan mereka akrab dengan barang-barang tersebut. Tepat pada
bait terakhirnya, Abah Yoyok menegaskan.
Dinding hari menyempit
Kembang
melati bau mayit
Akan
runtuh sebuah generasi
Sebentar
lagi
Herman
Syahara menuliskan puisi “Penyair Mati Di Layar Televisi”. Di dalamnya seakan
penyair menuangkan curahan hatinya, bahwa penyair telah tak dianggap di masyarakat. Bahkan di
televisi hanya membutuhkan sensasi. Bukan karya, bahkan bukan puisi
yang mungkin bagi mereka kurang trendi. Tapi itulah yang selama ini digemari.
Penyair seakan telah mati di televisi. Puisi “Keping
Derita” dari Aspar Paturusi juga tidak kalah indahnya.
Di dalamnya ia memaparkan zaman sekarang memang penuh kedzaliman. Kita telah
merdeka. Tapi siapa sangka kita harus lebih waspada. Jika dahulu perang adalah
hal yang menakutkan, di masa kini manusia-manusia bertopeng yang diam-diam
berkhianat tak kalah seram. Mereka perlahan-lahan menghancurkan negara.
Di dalam
buku antologi puisi “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia” yang paling menarik adalah puisi karya Handrawan Nadesul yang
berjudul “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia”. Di dalamnya berisi ketabahan para
rakyat kecil yang selalu dibohongi para pejabat. Sedangkan pejabat seperti
lupa, bahkan tak melihat rakyatnya. Berikut cuplikan puisinya
Bangga
aku jadi rakyat Indonesia
Masih
gigih berjalan kendati kehilangan mendapat cukup makan cukup pangan
Tak ada
dendam yang berjasa terabaikan yang mengabdi tersingkirkan
Tersaruk-saruk
atlet veteran menjual medali buat makan
Hujan
batu di negeri orang karena emas di negeri sendiri tak memberi pekerjaan
Masih
tekun menanti kapan di stasiun tempat bisa hidup pantas akan tiba
Kalau
mereka masih bertanya tak berkata-kata
Karena
teramat mencintai republik sepermai ini
Bangga
aku jadi rakyat Indonesia
Masih
tersenyum padahal sudah lapar sekali
Masih
terdiam padalah sudah perih sekali
Masih
menerima padahal sudah pilu sekali
Masih
bertahan padahal sudah payah sekali
Belum
menangis dari jatuh-bangun berkali-kali
Dibohongi
berulaang-ulang kali
Mereka
kuat karena merasa hidup memang harus begini
Atau
barangkali karena niscaya Gusti ora sare.
Handrawan
Nadesul menggambarkan dengan jelas kehidupaan negeri ini di puisinya. Ia
menceritakan rakyat kecil yang hanya diam melihat
perlakuan penguasa yang semena-mena. Pejabat yang hanya terdiam melihat
fenomena hidup rakyatnya yang terseok-seok, bahkan mungkin mereka menikmatinya.
Dalam puisi yang berjudul “Garudaku Mengeram
Peradaban”, M. Enthieh Mudakir juga mengungkapkan hal yang sama seperti yang
diungkapkan oleh Handrawan Nadesul dalam puisinya “Bangga Aku Jadi Rakyat
Indonesia”.
Handrawan
Nadesul juga mengungkap gejolak rakyat
Indonesia dalam puisinya yang berjudul “Jangan Tunggu Rakyat Kehabisan Diam”. Di dalam puisi tersebut Handrawan
Nadesul seakan mengungkapkan pesan bahwa jangan salahkan
rakyat jika suatu saat memberontak, karena sang penguasa negeri sudah lupa diri
dan ingkar janji. Rakyat yang menjadi tanggung jawab mereka pun diabaikan.
Dalam
buku antologi puisi “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia” memang di dalamnya lebih banyak berisi puisi yang
menyinggung tentang penguasa negeri. Mungkin itu memang menjadi fenomena utama
yang menarik disinggung oleh para penyair. Namun di dalam buku tersebut masih
ada banyak puisi menarik yang menyinggung masalah sosial dalam negeri kita,
Indonesia. Diantaranya puisi mengenai kehidupan rakyat kecil, dari kemiskinan,
mata pencaharian, pendidikan, kehidupan anak jalanan, juga mengenai batin para
penyair, dan masih ada banyak lagi. Buku tersebut memang diciptakan atas dasar
antusias para penyair akan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia sekarang
ini. Buku ini adalah bentuk kebanggan para penyair atas tumpah darah terhadap
tanah air Indonesia, juga memuat pesan agar Indonesia tidak terbelenggu
jiwanya, dan bisa berubah lebih maju dari keadaan sekarang.