Selasa, 23 Desember 2014

Ketika Kau Tak Ada

Oleh Sapardi Djoko Damono


ketika kau tak ada, masih tajam seru jam dinding itu
jendela tetap seperti matamu
nafas langit pun dalam dan biru, hanya aku yang
menjelma kata, mendidih, menafsirkanmu
kau mungkin jalan menikung-nikung itu
yang menjulur dari mimpi, yang kini
mesti kutempuh, sebelum sampai di muaramu
sungguh tiadakah tempat berteduh disini?
kalau tak ada di antara jajaran cemara itu
kepada siapa meski kucari jejak nafasmu?
maghrib begitu deras, ada yang terhempas
tapi ada goresan yang tak akan terkelupas

Minggu, 14 Desember 2014

Sajak Meja Tengah Perpustakaan

Karya Qismatun Nihayah

Aku saksi setiap pengetahuan dikelana
Saksi tiap lembaran dibuka
Saksi tiap pena menumpahkan kata
Saksi tiap mata menelisik setiap kata
Saksi gelak tawa usai baca cerita
Aku sahabat bagi orang-orang pintar (katanya)
Pun kawan bagi orang biasa,
yang sekadar membaca buku seperlunya,
yang sering menindihkan laptonya untuk sekadar online semata
Bahkan, tak jarang merusuhiku dengan pena
Atau menyelinap dibawahku tiap membuka bungkus permen
Aku
Hanya sebuah meja tengah perpustakaan
Yang menjadi saksi bisu setiap pembaca



Sabtu, 13 Desember 2014

Ritual Obor

Karya : Qismatun Nihayah

Mereka mempercayaiku sebagai mukjizat
Yang diagungkan dan digunakan sebagai obat
Mereka melestarikanku sebagai ritual keramat
Yang harus dijaga agar tetap selamat

Padahal,
Aku hanya cerita masa lampau
yang memerah dan meraung-raung akibat amarah
Aku hanya saksi suatu peristiwa tragis
Suatu peristiwa yang sedikit anarkis

Aku tetap obor,
yang diritualkan dengan meriah
Entah mereka tahu atau tidak sejarah
mereka hanya menghilangkan resah
Agar bumi ini tetap terjaga

_______________________________________________________________________

Puisi ini saya tulis atas keresahan saya akan masyarakat yang buta sejarah. Karena banyak sekali masyarakat yang mengikuti tradisi namun tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Puisi ini terilhami dari asal-usul terjadinya perang obor di Jepara  saya hubungkan dengan masyarakat yang melakukan tradisi sekarang ini.

KAU AMBIL LELAKIKU

Oleh Qismatun Nihayah

Aku terbangun dari tidur panjangku. Kuraih telepon genggamku. Kulihat jam menunjukkan pukul 8 pagi. Kupegangi kepalaku, rasanya seperti telah tertimpa lemari.Pusing sekali, berat sekali untuk bangun. Masih terngiang dikepalaku kejadian kemaren sore. Rasanya aku tak ingin bangun lagi. Mantan pacarku, Aldi yang baru saja kemaren sore aku memutuskan hubungan dengannya. Bukan itu yang membuatku menangis sepanjang malam hingga mataku sembab pagi ini. Melainkan sahabatku sendiri yang menghianatiku dengan berhubungan rahasia di belakangku. Dengan Aldi, yang masih menjadi pacarku saat itu. Kalau hanya putus cinta aku tak bakal terpuruk seperti ini.Pasalnya sudah berkali-kali aku putus cinta. Tapi ini sahabat karibku. Teman setiaku. Ia temanku sejak kecil karena kami memang satu sekolah sejak Sekolah Dasar (SD), juga ibunya adalah sahabat almarhum ibuku.
Pagi ini aku malas sekali menginjakkan kakiku ke lantai. Belum ingin bangun dan berangkat kuliah. Malas sekali rasanya bertemu dengan Aldi.Kami berpacaran satu tahun yang lalu saat aku menginjak kuliah semester dua. Lalu di semester ketiga karena kami dari program studi yang sama, kami memutuskan untuk mengambil kelas yang sama pada semua mata kuliah. Tapi itu dulu. Sekarang ingin rasanya aku lekas ke semester lima dan pastinya mengambil kelas yang berbeda dengannya. Andai saja aku tidak bercita-cita menjadi pelukis, ingin rasanya sekarang aku berhenti kuliah dan masuk kuliah tahun depan dengan program studi yang berbeda dengan Aldi. Tentunya bukan Seni Rupa.
Jam menunjukkan pukul  8.13. Itu artinya selama tiga belas menit aku terperangkap dalam lamunanku. Kucoba membuka selimut dan bangun. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk kuliah.
Sesampainya di kampus ingin sekali kututupi mataku dengan kaca mata besar, karena sembab di mataku belum juga hilang.
“Sil, tadi kamu dicariin Dita.” Sapa temanku begitu aku masuk kelas.
“Oh, iya makasih.” Timpalku singkat.
“Eh matamu kenapa? Habis menangis semalaman? Bertengkar ya sama Aldi? Duh udah tua kok pacarannya masih suka bertengkar sih Sil.” Celetuknya sambil melirik Aldi yang duduk di kursi belakang.
“Iya, makasih ya nasehatnya Sa. Aku janji habis ini nggak bakal berkengkar lagi kok.Aku janji bakal jadi wanita yang baik, setia, biar nggak mengecewakan orang lagi!”Jawabku dengan nada tinggi sambil melirik Aldi.
“Ih segitunya kamu Sil”
Aldi hanya menunduk. Dia pasti tahu kalau baru saja aku menyindirnya. Kubenarkan posisi dudukku, karena baru saja dosen memasuki kelas. Seketika suasana hening.
Setelah perkuliahan selesai aku langsung pulang. Mungkin ini jadi kebiasanku yang baru. Tidak lagi kelayapan setelah pulang kuliah mengingat temanku yang biasanya menemaniku kelayapan sekarang menjadi orang asing bagiku. Setibanya di rumah aku mendapati mobil yang parkir di halaman rumahku, dan aku tidak asing lagi dengan mobil itu.Itu mobil Dita. Perebut pacarku. Setelah aku masuk ke ruang tamu, ayah langsung saja menyapaku.
“Eh Sil, Dita sudah menunggumu sejak tadi. Kenapa pulangmu lama sekali?”
“Iya Pa, tadi macet. Papa ke dalam aja. Aku sama Dita mau bicara agak serius.” Jawabku dengan nada santai sambil kusunggingkan senyumku untuk menyembunyikan pertengkaranku dengan Dita.
“Yaudah Papa juga mau keluar, entar kalau mau pergi sama Dita jangan sampai larut malam. Kalian itu biasanya lupa waktu kalau  sudah berdua.” Nasihat Papa sembari keluar rumah.
Setelah kepergian Papa, suasana menjadi canggung. Aku mencoba memecahkan kecanggungan itu.
“Kalau kamu kesini hanya untuk terdiam, lebih baik kamu pulang!” Celetukku memecahkan keheningan dengan nada judes.
“A a ak aku minta maaf Sil, ini memang salahku.” Jawabnya gugup dengan wajah tertunduk dan pucat pasi.
“Kamu kira ini semudah membalik telapak tangan? Ha? Aku sakit Dit, aku kecewa. Sahabatku yang selama ini aku percaya tiba-tiba berhianat. Bayangkan kamu di posisiku!” Aku semakin emosi. Bayangkan saja selama ini dia temanku bercanda tawa. Tempatku menumpahkan segala kegelisahanku. Tempatku meneduh dari segala masalahku, tapi sekarang dia jadi masalah terbesarku. Sungguh sulit kupercaya.”
“Iya, aku yang salah. Aku minta maaf, tapi kamu harus tahu, Aldi itu butuh seseorang yang bisa mendengarkan dia curhat, bisa ngasih solusi kalau dia punya masalah, bisa diajak bercanda kalau dia lagi jenuh. Bukan hanya mendengarkan kamu nyeloteh. Kadang seseorang juga jenuh kalau hanya diminta perhatian dan tidak pernah diperhatikan.” Jelas Dita sambil menatapku.
“Maaf, aku lancang menasehatimu, tapi terkadang seseorang juga perlu introspeksi diri sebelum akhirnya dia menyalahkan segala  masalah yang dihadapinya. Semoga kamu mengerti, dan semakin dewasa. Maaf aku bukan sahabat yang baik buat kamu. Aku pamit pulang dulu.” Lanjutnya dengan tegas, dan suaranya lebih tenang dari sebelumnya.
Lalu ia beranjak dari tempat duduk dan mulai pergi meninggalkan rumahku. Aku masih termenung di kursi ruang tamu sejak tadi. Ya, sejak Dita berbicara denganku sampai saat ini. Aku mencoba memahami kalimat terakhirnya. Aku mulai membayangkan atas apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku egois, aku hanya mau menang sendiri. Mungkin semua ini bukan semata-mata salah Dita dan Aldi, tapi aku yang membuat Aldi jenuh dan terpaksa mencari tempat teduh untuknya bercerita dan menumpahkan segala kegelisahannya, yaitu Dita. Iya, aku sendiri yang menyebabkan semua ini terjadi.
Setelah kejadian itu, kujalani hidupku dengan lebih dewasa. Rasanya hidupku sekarang lebih tenang dan lebih berharga. Hari ini kuputuskan untuk menemui Dita. Aku berencana untuk meminta maaf padanya dan aku ingin kembali bersahabat seperti dulu, karena memang hanya Dita yang bisa sangat sabar menghadapiku, memberi nasehat-nasehat bijaknya terhadapku. Sekarang aku sudah ikhlas jika Aldi bersamanya. Dita memang wanita yang baik, dan tentunya lebih dewasa dari aku. Pantas saja kalau Aldi lebih nyaman dengan Dita. Aku mencoba menerima semua ini.
“Dit, maafin aku ya. Selama ini aku egois sama kamu. Makasih, kamu sudah mau jadi sahabat aku yang super pengertian sama aku. Meski aku tidak pernah ngertiin kamu.” Kataku padanya siang itu.
“Iya Sil. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku bersama Aldi. Kamu masih mau temenan denganku kan?” Pintanya terhadapku.
“Tentu. Eh iya gimana kabar Aldi?” Tanyaku sambil kusunggingkan senyumku.
“aku tak tahu gimana kabarnya sekarang. Sebenarnya sejak kamu menjauhiku, aku juga memutuskan untuk menjauh dari Aldi” Jawabnya lirih.
Tenyata setelah aku menjauhi Dita, ia memutuskan untuk menjauh juga dari Aldi. Aku tidak tahu apa sebabnya. Mungkin karena ia merasa bersalah terhadapku. Aku pun tidak menanyakan alasannya kepada Dita langsung.
Setelah hubunganku dengan Dita membaik, kami pun seperti dulu. Selalu bersama kemanapun kami pergi. Dita juga sering kuajak menginap di rumahku, karena ayahku sering ke luar kota. Aku kasihan dengan ayah. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan saat liburan pun ia sering kesepian di rumah, karena aku terlalu sibuk dengan kuliahku. Suatu hari aku pernah meminta ayah untuk menikah lagi. Ayahku masih muda, tampan, pekerja keras. Jika ayahku mau pasti dia akan mendapatkan perempuan yang baik untuk menjadi ibuku. Aku tak pernah melarang ayahku untuk menikah lagi. Berkali-kali aku tekankan pada ayahku, aku menerima siapapun perempuan yang ayah pilih untuk menjadi ibuku. Asalkan ayahku bahagia, aku ikut bahagia. Hingga suatu hari ayah bertanya padaku.
“Sil, ayah mau bicara sama kamu.” Kata ayah malam itu dengan wajah serius. Tidak biasanya ayah mengajakku bicara seperti ini. Aku rasa ini hal yang sangat penting.
“Ada apa yah? Serius amat. Santai saja lah. Seperti mau sidang aja.” Jawabku dengan bercanda.
“Sini anak ayah yang paling cantik. Duduk dekat ayah dong. Ayah kangen.” Jawab ayah menimpaliku.
“Ih nggak mau ah dekat-dekat dengan ayah. Eh aku tahu nih, biasanya kalau kaya’ gini ayah ada maunya nih. Langsung ngomong aja yah, nggak usah basa-basi.”
“Kamu kan pernah bilang, kamu bakal nerima siapapun yang akan ayah pilih untuk jadi pendamping hidup ayah dan menjadi ibu kamu.” Kata ayah lirih, di wajahnya terlihat keraguan untuk mengatakannya kepadaku.
“Yey, ayah serius mau nikah? Aku tidak sabar punya ibu baru.” Jawabku ceria, seperti baru saja mendapat hadiah.
“Ayah tidak bilang mau menikah, ayah cuma mengatakan..”
Langsung ku potong kalimat ayah 
“Ayah nggak usah basa-basi deh. Iya ayah, aku setuju. Asalkan ayah bahagia, aku pun bahagia. Lalu kapan ayah mau mengenalkan pacar ayah itu kepadaku?”
“Kamu ini, ayah kan sudah tua, masak iya pacaran. Iya besok ya aku bawa calon ibumu ke rumah, tapi ini semua masih di tanganmu. Kalau kamu berubah pikiran dan tidak merestui ayah. Ayah juga nggak bakalan melanjutkan hubungan ayah”
“Ah ayah kelihatannya  takut sekali denganku. Santai saja lah yah, aku kan sudah bilang asalkan ayah bahagia aku pun turut bahagia. Nah sekarang ayah bahagia nggak sama dia?” Kembali kutekankan kepada ayahku.
“iya, ayah nyaman bersamanya. Ayah bahagia.” Jawab ayah
Kupandangi wajah ayah, sepertinya ia sangat menyayangi wanita itu. Entah siapa aku belum tahu, yang jelas aku tidak akan tega melarangnya untuk menikah.
Pagi harinya aku mengajak Dita jalan-jalan. Aku juga mengajaknya untuk kerumahku dan mendandaniku, karena aku ingin terlihat cantik di depan calon ibu baruku, tapi ia menolaknya. Katanya ada urusan penting. Malam harinya  aku bersiap-siap dandan secantik mungkin untuk menyambut kedatangan calon ibuku. Ayahku kelihatan sedikit gelisah. Aku bingung, padahal ia hanya mau mengenalkan wanita kepadaku, tapi seperti mau mengahadapi atasannya yang sedang marah. Beberapa menit kemudian bel pintu rumahku pun berbunyi. Aku segera membukanya, tapi ayahku melarangku untuk membuka pintu. Lalu ayah membuka pintu, tapi ayah tidak  langsung mengajaknya masuk rumah tapi ayah sepertinya berbincang-bincang dulu di ambang pintu. Aku tidak sabar menunggu ayah. Akhirnya ayah mengajak wanita itu masuk rumah. Tapi bukan calon ibuku yang kutemui melainkan Dita.
“Loh Dit, ngapain malem-malem main kesini. Katanya tadi kamu ada urusan penting. Jangan bilang kamu mau minta tolong aku ntuk menemanimu pergi. Maaf Dit, aku mau menunggu calon ibuku.” sapaku saat ku lihat Dita melangkah memasuki rumahku.
“Tidak. Aku kesini bukan ingin mengajakmu pergi. Aku memang ingin menemuimu.” Jawabnya.
“Nah ngapain  kamu dandan rapi cuma mu main kesini? Sini ah duduk dulu. Aku lagi nungguin calon ibuku ini.” Tanyaku masih heran dengan maksud kedatangannya ke rumahku.
“Sebenarnya aku adalah orang yang mau kamu temui malam ini.” Jawabnya lirih.
“Maksudnya? Ayah maksudnya apa ini? Aku tidak mengerti. Jangan bilang dia..”
“Iya, dia calon ibumu, tapi dengar dulu. Ayah tidak akan memaksamu untuk menerima ini. Ini terserah kamu.” Jelas ayah.
Aku masih kaget dengan pernyataan Dita. Aku lari ke kamarku dan membanting pintu dngan keras. Tidak terasa air mataku membasahi pipiku. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ini, tapi aku masih belum bisa menerima kalau ayahku akan menikah dengan sahabatku sendiri. Ya, sahabatku, juga perebut dua lelakiku. Pertama pacaku, Aldi dan kedua ayahku. Aku bingung harus memberi keputusan apa kepada ayahku. Aku tidak tega melihat ayahku terus-terusan sendiri, tapi aku belum siap menerima kalau ibu tiriku adalah sahabatku. Setelah aku merenung di kamar sedikit lama. Aku menyadari aku tidak boleh egois lagi. Ini saatnya aku melihat ayahku bahagia seperti dulu saat almarhum ibuku masih ada, dan juga Dita, sahabatku, mungkin ia juga tidak menginginkan hal ini terjadi, tapi inilah kenyataanya. Aku pun keluar dan berbicara kepada ayah dan Dita. Mereka bahagia mendengar persetujuanku atas hubungan mereka. Ya, sekarang Dita, sahabat kecilku adalah calon ibu tiriku.