Senin, 12 Januari 2015

Super Mom




Ibu adalah inspirasi bagiku. Aku dibesarkan oleh seorang Ibu yang tangguh tanpa mengeluh. Aku diajari untuk menjadi wanita yang kuat meskipun tumbuh tanpa seorag Ayah. Aku selalu menuruti apa kata Ibu. Ibu selalu menasihatiku “Jadi perempuan itu harus legowo, manut sama lelaki. Nanti kalo kamu punya suami jangan sekali-kali membangkangnya”. Itu kalimat yang selalu terngiang di pikiranku hingga aku sekarang dewasa. Aku tak pernah mempermasalahkan tidak mempunyai serang Ayah. Toh aku bisa tumbuh normal seperti teman-temanku yang lain. Tapi, pernah aku sekali menanyakan perihal ayah kepada Ibu, namun wajah Ibu menjadi suram dan menyedihkan. Sangat tak enak dipandang. Itu sebabnya aku tak lagi-lagi menanyakannya kepada Ibu, karena aku tak ingin melihat murung wajah Ibu. Tapi setelah aku dewasa sekarang aku semakin penasaran dengan keadaaan Ayahku. Aku mulai menelisik, mencari tahu tentang Ayah. Mulai dari membongkar-bongkar album Ibu saat masih muda, bertanya-tanya kepada Nenek sampai  bertanya kepada Tante Fani teman Ibu dari kecil. Tapi aku masih belum mendapat jawaban yang jelas dari mereka. Katanya Ibu wanita yang hebat, lelaki bodoh telah meninggalkan Ibu tanpa sebab. Aku mulai lelah mencari informasi tentang Ayah.
Belakangan Ibu mengetahui aku sedang dekat dengan lelaki. Ia mulai terus menanyaiku tentang lelaki yang sedang dekat denganku. Aku tetap mencoba merahasiakannya dari Ibu. Mungkin Ibu mengira bahwa itu kekasihku, padahal tidak. Ia adalah Dani, teman SMAku. Aku mulai dekat dengannya saat aku belajar bersama di rumahnya. Aku membuka suatu album tua di rumahnya, dan aku menemukan sebuah foto yang cukup mengagetkanku. Aku melihat dua perempuan dan satu lelaki, aku tahu bahwa salah satu perempuan di foto tersebut adalah Ibuku. Lalu aku menanyakan kepada Dani mengenai foto tersebut. Ternyata perempuan yang satunya lagi adalah Ibunya Dani. Maklum saja aku tak tahu. Selama ini aku tak pernah melihat Ibu Dani. Pasalya setiap aku di rumahnya, Ibunya selalu tak berada di rumah. Lalu aku meminta bantuan kepada Dani untuk menanyakan mengenai Ibuku kepada Ibunya. Ternyata Ibuku adalah sahabat dekat Tante Ana, Ibunya Dani.
Aku mulai sering main ke rumah Dani dan mendekati Ibunya. Aku tak mengaku sebagai anak Bu Mia, yakni ibuku juga teman lama ibu Dani. Ia mulai bercerita banyak tentang Ibu layaknya curhat dengan temannya sendiri. Lalu aku mengetahui bahwa lelaki di foto itu adalah bekas kekasih Ibu yang dulu juga sahabat Tante Ana. Aku merasa mulai menemukan jalan untuk mengetahui Ayahku.
“Mia itu orangnya polos, baik, ceria. Pantas banyak pria menyukainya. Tapi sayang, ia memilih lelaki yang salah.” Tante Ana memulai bercerita
“Apa yang salah dengan suaminya? Saya lihat di foto, suami Bu Mia juga pria yang baik.” Pancingku
“Jangan tertipu dengan tampang nak, sekarang banyak sekali wajah-wajah lelaki polos namun aslinya jahat, kamu pandai-pandailah bergaul. Jangan sembarangan memilih teman lho.”
Ia terdiam sebentar lalu melanjutkan lagi ceritanya.
“Kadang aku masih merasa bersalah karena dulu membiarkan Mia memilih lelaki yang salah, tapi apa boleh buat. Aku tak tahu apa-apa saat itu. Tak sepantasnya ia mendapat lelaki seperti itu. Kasih sayangnya tulus, tapi tak dibalas seperti apa yang telah ia berikan.” Lanjutnya sambil menitikkan air mata.
Aku melihat ada penyesalan dari raut wajah Tante Ana. Aku semakin penasaran dengan cerita Tante Ana dan terus mengulik-ulik cerita tentang Ayah. Dan aku tercengang setelah mendengar cerita lengkapnya Tante Ana. Ayahku telah mempunyai banyak simpanan. Katanya ia hanya memanfaatkan harta Ibuku. Ibuku memang wanita yang polos. Ia memberikan segalanya yang diminta oleh Ayah. Sampai harta Ibu terkuras. Lalu Ibu ditinggal dengan perempuan lain. Kata Tante Ana, ibu adalah sosok perempuan yang legowo. Selalu menerima dengan lapang hati, hingga ia dibodohi oleh lelaki.
Aku mulai memberontak dalam hati dan ingin membantah ibu, bahwa jadi perempuan itu harus legowo katanya. Aku tak setuju pernyataan itu. Menurutku itu hanya membuat perempuan akan selalu lemah. Contohnya saja Ibu, ia gampang saja dibodohi oleh lelaki. Meskipun aku sangat membenci Ayah, tapi aku juga ingin marah dengan Ibu. Kenapa ia begitu lemah dan tidak memberontak kepada Ayah saat itu. Dan kembali aku berpikir lagi. Ibu, sosok yang lemah menurutku. Bukan! Ia sosok yang kuat, mana mungkin perempuan lemah bisa bertahan sehebat ini hingga membesarkanku tanpa didampingi seorang suami. Kini aku tahu sebabnya mengapa Ibu selalu melindungiku berlebihan jika aku dekat dengan seorang lelaki.
Lalu aku pulang, ingin segera mendekap erat Ibu. Aku tak butuh seorang Ayah lagi. Aku cukup dengan seorang ibu yang selalu sabar membimbingku. Sesampainya di rumah aku peluk Ibu, dan ibu terheran.
“Kamu kenapa Nak?”
“Aku rindu Ibu” jawabku berkaca-kaca
“Ibu.. apakah Ibu tidak merindukan sosok lelaki untuk mendampingi ibu?” tanyaku pelan
“Tidak. Cukup melihatmu tumbuh dewasa dan bahagia itu cukup buat Ibu. Apakah kau kurang bahagia dengan keadaan seperti ini Nak?” Tanya Ibu
“Aku sudah sangat bahagia mempunyai Ibu yang hebat” jawabku dengan seulas senyum.
10 November 2014 
Q.N

Ulasan Antologi Cerpen "Perempuan Kedua"



Judul Buku       : Perempuan Kedua
Pengarang        : Labibah Zain
Tahun Terbit     : 2008
Oleh                  : Qismatun Nihayah

          Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) “Perempuan Kedua” karya Labibah Zain berkisah tentang realita perempuan dari berbagai sudut. Ia menceritakan tentang perempuan dengan gamblang. Bahwa perempuan bisa tangguh. Bisa pula rapuh. Bisa setia. Bisa pula membagi cinta dengan cara jadi perempuan kedua. Dalam buku tersebut terdapat tiga belas judul cerpen yang di dalamnya menyangkut cinta, daya juang, hingga masalah sosial. Dalam kumpulan cerpen tersebut berisi tiga belas judul cerpen yang menarik untuk dibaca, yakni: Aina, Perempuan Kedua, Sepotong Wajah, Fragmen Musim Gugur, Perempuan Pencari Dada Ibu, Calana Dalam, Kamar Berlumut, Laily, Ma’e, Perempuan Cahaya, Rumah di Seberang Kuburan, Awan Menangkap Rembulan, dan Hari Ini Ada yang Mati Lagi.
Labibah Zain menceritakan dengan jelas dari sisi perempuan yang sering kali disakiti, juga tidak jarang terjepit oleh pilihan yang tidak sama sekali tidak menguntungkan bagi perempuan. Seperti yang diceritakan dalam  salah satu cerpen dalam buku tersebut yakni “Aina”. Disitu diceritakan Aina adalah seorang syarifah (sebutan untuk perempuan yang mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah, putri Rasulullah Muhammad Saw) yang menjalin hubungan dengan ahwal (sebutan untuk orang yang tidak mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah, putri Rasulullah Muhammad Saw). Namun dalam keluarganya seorang syarifah tidak boleh menikah dengan seorang ahwal. Jika ia menikah dengan seorang ahwal maka keturunan selanjutnya akan terputus sebagai syarifah atau habib (sebutan untuk lelaki yang mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah, putri Rasulullah Muhammad Saw). Lalu ia dijodohkan dengan Haidar seorang habib pilihan keluarganya. Namun ia masih menjalin hubungan dengan Hartono, seorang ahwal yang ia cintai. Ia tidak diberi kesempatan memilih oleh keluarganya. Akhirnya ia memutus hubungan dengan Hartanto dan menikah dengan Haidar. Namun setelah menikah hidupnya tidak bahagia. Ia tidak diperlakukan baik oleh Haidar. Bahkan setelah tiga bulan ia menikah Haidar menikah diam-diam dengan perempuan lain. Haidar dendam terhadap Aina karena dahulu pernah dicampakkan dan lebih memilih Hartoto. Menurutnya ini tidak seberapa dibanding sakit hatinya dahulu saat ia dicampakkan oleh Aina. Bukan hanya itu Aina juga sering dipukul oleh Haidar. Aina tidak betah dengan suaminya, namun ia tidak berani mengadu. Ia tidak tahu ingin mengadu kepada siapa. Ia juga takut jika ia bercerita kepada ibunya akan menyakiti ibunya, karena ibunya sedang menderita penyakit jantung. Akhirnya ia memilih diam. Di sini jelas digambarkan seorang perempuan yang tersudut oleh pilihan yang tidak ia inginkan. Bahkan hanya sekadar mencurahkan isi hatinya pun ia tak  kuasa demi menjaga perasaaan orang lain. Meski ia sakit.
          Dalam kumpulan cerpen “Perempuan Kedua”, Labibah Zain menyajikan potret kaya ekspresi, selain secara gamblang memaparkan kondisi perempuan, ia telaten memperhatikan keinginan, harapan, kesedihan, termasuk yang membuat para perempuan bahagia. Termasuk yang ia ceritakan dalam cerpennya yang berjudul “Perempuan Cahaya”. Di dalamnya ia menceritakan seorang perempuan yang selalu dikhianati oleh lelaki, namanya Ely. Ia memiliki teman yang selalu setia mendampinginya saat ia terpuruk karena hatinya telah disobek-sobek oleh lelaki, ia memanggilnya kak Arum. Kak Arum adalah teman yang ia kenal saat menuntut ilmu di negeri seberang. Tapi hubungannya merenggang saat ia dekat dengan lelaki yang masih menjadi suami orang. Kak Arum menasihati agar menjauhinya tapi Ely tetap melanjutkan hubungannya bersama lelaki tersebut dan lebih memilih menjauh dari kak Arum. Tapi setelah itu Ely kembali dikhianati lelaki tersebut yang hanya memanfaatkan Ely. Akhirnya Ely kembali berteduh kepada Kak Arum. Kak arum laksana cahaya yang selalu menerangi Ely saat gelap tak tahu arah.
Kak Arum telah memiliki seorang suami yang soleh serta dua orang anak yang lucu. Mereka sangat dekat dengan Ely meski telah terpisah karena kak Arum harus kembali ke negerinya bersama suami serta dua anaknya. Suatu ketika ia bermimpi bertemu dengan kak Arum dan kedua anaknya yang sedang bermain di taman. Di wajah kak Arum, ia melihat kesedihan. Wajahnya begitu sendu. Namun kak Arum menguatkan diri sembari berbisik.
          “Aku dan anak-anak baik-baik saja di sini. Kau lihat sendiri kan, El? Anak-anakku berumah di taman itu. Burung-burung itu menjadi penjaga mereka dan batu-batuan bernyanyi bersama mereka. Satu yang aku cemaskan. Bang Edi tak bisa aku ajak serta. Aku tahu dia sangat terpukul dan kesedihannya membuatku menangis. Berjanjilah, El! Kau akan mengatakan pada bang Edi bahwa aku dan anak-anak baik-baik saja di sini. Berjanjilah, El, bahwa kau mau menjaga dan merawatnya dalam sebuah rumah.”
          Saat ia terbangun dari mimpinya ia tersentak, karena ia sadar bahwa kak Arum telah meninggal dunia terseret arus tsunami beserta anak-anaknya saat suaminya seminar di Jakarta, Desember tahun lalu. Ia mencoba mengartikan mimpinya. Tapi ia gagal. Lalu ia segera mengambil al-Quran untuk menenangkan hatinya serta berharap lantuan ayat-ayat yang dibacanya akan menambah kebahagiaan kak Arum beserta anak-anaknya di alam barzakh. Tepat pada ayat terakhir surat Yasin teleponnya berbunyi. Lalu ia mengangkatnya. Ternyata dari Bang Edi, suami kak Arum. Sebelum ia bercerita tentang mimpinya, bang Edi mendahuluinya dengan berkata, “Ely, maukah kau jadi istriku?”. Ely tercekat, tetapi tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.
          Dalam cerpen tersebut Labibah Zain menampilkan cerita dari sudut perempuan, sebuah kebahagiaan yang tidak ia duga datangnya dan takdir yang begitu indah yang bisa datang dari hal yang tidak pernah ia minta, bahkan tidak pernah terpikir olehnya. Labibah Zain juga menceritakan bahwa perempuan terlibat dengan seluruh persoalan, baik secara pribadi yakni masalah rumah tangga sampai pada masalah sosial yang berpengaruh besar dalam kehidupan, seperti kemiskinan, pendidikan, serta kesetaraan derajat. Seperti yang ia gambarkan dalam cerpennya yang berjudul “Laily” ia menggambarkan dengan jelas bahwa perempuan belum mempunyai kesetaraan derajat yang diakui masayarakat. Di dalamnya diceritakan Laily adalah seorang perempuan sukses yang gajinya melebihi suaminya. Meski begitu ia tidak pernah sekalipun merendahkan suaminya. Walaupun ia tidak pernah mempermasalahkan gaji suami yang pas-pasan. Ia merasa suaminya tidak menyukainya terhadap derajat karrirnya yang lebih tinggi. Meski ia diakui sukses oleh masayarakat namun tak bisa dipungkiri bahwa perempuan yang terlalu sibuk dengan pekerjaanya dianggap durhaka terhadap suami. Malangnya lagi setelah delapan tahun ia menikah, ia tidak juga dikaruniai anak. Suatu ketika suaminya meminta mengadopsi anak tetangga sebelah yang tidak tahu ayahnya kemana. Setelah diadopsi Laily tidak suka dengan perlakuan anak tersebut yang tidak sopan. Lalu ia membentaknya, namun bentakan itu membuat suaminya marah. Ia tidak terima dengan perlakuan Laily. Ditamparnya Laily, dilemparkan beberapa cambukan sabuk di atas badan Laily. Lalu Laily diusir dari rumah. Berkali-kali Laily menggedor pintu, namun tak kunjung dibuka olah suaminya. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di rumah temannya sementara sembari menghilangkan traumanya atas perlakuan suaminya. Seminggu kemudian Laily beranikan diri untuk datang ke kampus. Ia mendapati pandangan iba dari beberapa orang yang ada di sana. Ternyata berita yang tersebar selama ia berdiam diri di rumah temannya adalah ia meninggalkan rumah dengan keadaan hilang ingatan. Memang, istri meninggalkan suami adalah aib yang tak terkira, dan pantas diperlakukan apa saja sebagai imbalannya. Yang tak kalah menyakitkan dari berita yang beredar adalah suaminya mengakui bahwa anak yang ia adopsi beberapa hari lalu adalah anak kandungnya hasil pernikahan siri dengan ibu anak tersebut saat Laily berjuang menyelesaikan tesisnya di luar negeri enam tahun lalu.
          Dalam cerita tersebut diceritakan betapa beratnya menjadi perempuan. Keadilan berupa kesetaraan derajat terhadap perempuan belum begitu diakui masyarakat. Menjadi perempuan mandiri terkadang malah berdampak menimbulkan masalah terhadap diri sendiri. Masalah sosial yang menjerat perempuan yang lain adalah kemiskinan yang terkadang membuat perempuan yang terpaksa melakukan pilihan yang tidak ia inginkan. Seperti yang Labibah Zain ceritakan dalam salah satu cerpennya yang berjuduk “Ma’e”. Labibah Zain menceritakan kebringasan laki-laki yang menjadikan perempuan-perempuan malang menjadi korbannya. Salah satunya adalah perempuan dalam cerita “Ma’e” ini. Ia dilahirkan tanpa seorang ayah. Ia selalu disudutkan oleh pergaulan di kampungnya hanya karena ia anak jadah (anak yang lahir di luar nikah). Sampai dewasa ia telah kenyang dengan cemoohan warga. Ia hidup dalam keterbatasan materi. Hingga akhirnya ia kuliah di luar kota, ia berjanji akan membahagiakan ibunya, akan membebaskan ibunya dari kemelaratan yang selama ini menjeratnya. Ia bekerja keras sambil kuliah. Tragisnya di tengah perjalanan ia bekerja keras, di tanah kelahirannya terkena longsor dan rumahnya hancur di telan bencana itu. Ia semakin sedih melihat ibunya tinggal di tenda. Ia ingin segera membangun rumah untuk ibunya yang sedikit layak. Tentunya ia harus bekerja lebih keras lagi. Akhirnya ia terpaksa memilih untuk kawin kontrak dengan lelaki bejat yang memang selalu kawin kontrak dengan perempuan lalu di tinggal setelah itu mencari pengganti baru dan seterusnya. Semua itu terpaksa ia lakukan karena ia ingin segera mendirikan rumah untuk ibunya yang tinggal di tenda pengungsian. Setelah tiga bulan ia kawin kontrak ia mendapatkan uang yang cukup untuk membangun rumah untuk ibunya. Lalu ia pulang untuk menemui ibunya. Sesampainya di kampung halaman, ia dikejutkan oleh tetangga-tetangganya yang mengatakan bahwa ayahnya telah datang. Ia heran, tetangganya yang selama ini mencelanya memberikan sambutan senyum kepadanya. Setelah sampai di depan tenda pengungsian ibunya, ibunya berkata,
“Apa kataku, ayahmu pasti datang. Ciumlah tangan ayahmu nak!”
 Ibunya menunjuk pada lelaki yang baru saja keluar dari tenda. Ia terpana, lekaki itu pun terpana. Kemudian ibunya menceritakan perihal perkawinan kontraknya dengan ayah. Ayahnya salah tingkah. Begitu pula dengannya. Betapa tidak. Ayahnya adalah suami kontraknya. Dalam cerita tersebut sungguh memilukan, bahwa kemiskinan membuat perempuan memilih pilihan yang menyakitkan demi kebahagiaan ibunya. Justru malah ia kawin kontrak dengan ayah kandungnya sendiri.
          Pada puncaknya Labibah Zain menceritakan dalam cerpen “Perempuan Kedua” yang bercerita tentang keteguhan hati perempuan yang rela dimadu oleh suaminya. Alasan suaminya adalah ingin membahagiakan janda dan menyantuni anak yatim. Istrinya menyetujuinya. Tetapi pada akhirnya saat suaminya pergi melamar janda yang ingin ia jadikan istri kedua, istrinya menyelipkan surat di pot bunga di teras rumahnya bahwa ia pulang kepada orang tuanya. Ia menggugat cerai suaminya dan meminta agar membahagiakan janda beserta anak janda tersebut. Malangnya pada lamarannya kepada janda tersebut sang suami di tolak. Pada akhirnya ia hidup sendiri. Labibah Zain meceritakan betapa mudahnya lelaki mengkhianati ikatan suci pernikahan dengan alasan yang membuat orang iba. Padahal sebenarnya lelaki hanya tak dapat mengendalikan nafsunya.
          Labibah Zain memainkan berbagai variasi permasalahan individu dan sosial yang di dalamnya ada harapan pada idealitas, korban patriarkhi, pengaruh mistik dan takhayul, dan masih banyak lagi. Ia mengemas kata-kata sederhana tetapi penuh makna sehingga tersampaikan maksud yang ia ceritakan. Kisah-kisah tersebut bisa terjadi pada semua perempuan, di Indonesia maupun luar negeri, baik kota maupun desa. Ia menulis dengan pesan yang jelas, dekat dengan kisah nyata yang ada, serta beberapa ada yang mengandung humor kuat.








Ulasan Antologi Cerpen "perempuan Berlipstik Kapur"



Judul                : Perempuan Berlipstik Kapur
Pengarang        : Esti Nuryani Kasam
Tahun Terbit     : 2012
Oleh                  : Qismatun Nihayah
 

Mengupas segala kehidupan yang dialami perempuan memang seringkali mendapati kenyataan yang mengiris hati. Esti Nuryani Kasam menyuguhkan cerita yang mengandung beragam pelajaran tentang kekuatan jiwa perempuan yang bisa dijadikan sebagai pengajaran dalam mengarungi kehidupan. Ia juga menyinggung kejamnya zaman yang terus menguji ketegaran hati para perempuan. Dengan bahasa yang sederhana namun menyimpan sejuta makna ia kemas dalam cerita pendek (cerpen) dalam buku ini. Esti Nuryani Kasam memperlihatkan kepekaan yang tinggi terhadap berbagai persoalan kehidupan sekitarnya, tidak hanya persoalan pribadi tapi juga persoalan sosial. Dalam buku kumpulan cerpen “Perempuan Berlipstik Kapur” ini terdapat empat belas judul cerpen.
Esti Nuryani Kasam menceritakan betapa beratnya menjadi perempuan masa kini yang tak mampu bertarung dengan kerasnya arus zaman yang semakin kejam. Dalam judul cerpennya yang pertamanya, yakni “Rimpang” ia menegaskan bahwa perempuan memang harus lebih pandai agar tidak terkalahkan oleh waktu yang terus mengujinya. Tidak hanya pandai, setidaknya perempuan harus menyiapkan mental jika saja ia tidak bisa bertahan dalam zaman yang semakin keras ini. Dalam cerpen tersebut ia menceritakan seorang perempuan yang kalah dengan perkembangan zaman. Dalam cerpen tersebut ia menceritakan ketabahan seorang ibu yang terkalahkan oleh anak-anaknya yang telah maju pada peradaban zaman sekarang.  Sebenarnya ia tidak gagal mendidik anak-anaknya. Bahkan anak-anaknya sukses menjadi apa yang mereka inginkan. Sayangnya  kesuksesan yang dicapai anak-anaknya tidak seperti yang ia inginkan.  Ia hanya menginginkan anak-anaknya sukses dan masih tinggal bersamanya. Tetapi ketiga anaknya pergi entah kemana. Pergi sesuka hati mereka. Mereka merasa telah menemukan dunia mereka sendiri. Ada yang merantau ke Bali, berguru disana dan berharap menjadi pelukis sukses. Ada yang sukanya mendaki gunung tanpa memberitahu pulangnya kapan, terkadang sampai berbulan-bulan. Ibunya tak pernah mengerti apa yang dimaksud sukses di mata mereka. Ibunya bahkan tak pernah merasakan kesuksesan mereka. Yang ia tahu dari teman-teman anaknya, anaknya orang yang aktif, berprestasi, dan  disayangkan jika jalan anak-anaknya dihalangi. Ia hanya tertunduk diam. Ia pernah sekali menasihati anaknya agar tetap tinggal bersamanya dan meninggalkan rutinitas mereka yang sedikit membahayakan. Ibunya lebih senang jika ia memiliki anak yang biasa-niasa saja tapi tetap ada disamping ibunya dan ada jika dibutuhkan ibunya. Tapi mereka membantah dengan alasan bahwaa di zaman sekarang orang harus berjuang untuk maju, dan tidak hanya melakukan itu-itu saja. Mereka juga mengatakan bahwa ibunya tidak bisa mengerti anak muda di zaman sekarang yang harus terus maju. Ibunya dianggap masih mengikuti paradigma lama yang harus diperbarui sesuai zamannya. Katanya di zaman sekarang harus menjadi pribadi pemberani, mandiri, dan aktif. Jika ia hanya mengikuti seperti ibunya ia pantas hidup sebelum Kartini lahir, yakni sebagai generasi puritan. Anak-anaknya begitu pandai membantah hingga meluluh lantakkan perasaan ibunya. Ia hanya bisa diam dan mengasihani dirinya sendiri.
Dalam buku tersebut juga diceritakan begitu pekanya perasaan perempuan. Ia bisa merasakan sesuatu yang terjadi hanya dari instingnya. Perempuan bisa sabar, sekalipun ia telah dikecewakan. Tapi perempuan juga pantas mengambil tindakan tegas ketika ia telah benar-benar tak mampu membendung kekecewaan. Dalam cerpennya yang berjudul “Selingkuh itu Indah” Esti Nuryani Kasam menceritakan bagaimana perempuan merasakan dengan instingnya saat suaminya berkhianat. Sekalipun sang suami tak pernah memperlihatkan ataupun berubah sikap saat ia berselingkuh. Juga diceritakan bagaimana perempuan menyikapi kekecewaan yang tak terbendung dengan meninggalkan suaminya dengan menyibukkan diri dengan bekerja sembari memberi kesempatan kepada suaminya agar menceraikannya tanpa mengatakan hal yang dapat menyakiti suaminya.
Esti Nuryani Kasam juga menceritakan betapa kuatnya perempuan menghadapi kerasnya kehidupan. Ia perihatin dengan kaumnya yang sering kali tersiksa di negeri orang. Seolah belum kering luka terdalam masa lalu tentang kaumnya yang terkubur di perut bumi. Namun ia tak henti berjuang agar kaumya tak lagi tertindas. Ia menceritakannya dalam cerpen yang berjudul “Aku, Perempuan Gunungkidul”.
Di zaman yang semakin keras ini memang dibutuhkan orang-orang kuat dan mau melakukan perubahan agar tidak tertinggal. Esti Nuryani Kasam menceritakan dalam cerpennya yang berjudul “Perempuan Berlipstik Kapur”. Di dalamnya bercerita tentang perempuan penambang kapur yang tegar menghadapi kerasnya hidup di daerah tandus gunung kapur. Ia tinggal di rumah kecil, di sebuah kabupaten gersang, miskin, kurang air, dan banyak tragedi gantung diri. Namun semua keadaan yang tidak mendukung tersebut ia tetap mengupayakan perubahan agar di desanya tak lagi tertinggal. Sayangnya ia meninggal di tengah perjuangannya mengumpulkan kapur. Ia tertimpa longsor yang begitu dahsyat. Di akhir khayatnya ia di kenang di masyarakat sebagai perempuan yang menginspirasi kaumnya.
Dalam kumpulan cerpen “Perempuan Berlipstik Kapur” ini seolah mengajak menjelajah batin perempuan melalui kekuatan narasinya. Esti Nuryani Kasam sangat fasih memotret keadaann perempuan dan permasalahannya. Lewat kata-kata dan simbol-simbol yang kaya unsur lokal, cerpen-cerpen dalam buku “Perempuan Berlipstik Kapur” bisa menjadi bara bagi perempuan untuk senantiasa memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini terpasung. Tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut merupakan kesaksian perempuan yang telah memiliki kesadaran gender. Buku tersebut mengangkat masalah dan harapan  hidup perempuan desa di tengah kekuasaan budaya patriarkhi. Buku “Perempuan Berlipstik Kapur” sangat menyentuh dan inspiratif, membuka hati kita untuk lebih memaknai, menghargai, dan menghormati kaum perempuan dan kehidupan.