Senin, 12 Januari 2015

Ulasan Antologi Puisi "Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia"



Judul Buku       : Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia
Pengarang        : 51 Penyair Pilihan
Tahun Terbit    : 2012
Oleh                : Qismatun Nihayah

Kemerdekaan. Itulah yang diagung-agungkan para pejabat negara. Iya. Indonesia telah merdeka sejak 69 tahun yang lalu. Bebas dari penjajahan bangsa lain. Rakyat indonesia telah mampu tersenyum, harusnya. Tapi apakah kemerdekaan tersebut sudah dirasakan seluruh rakyat indonesia? Kurasa seluruh lapisan di negeri nan indah ini telah mengetahui jawabannya. Tapi pernahkah mereka menengok saudara-saudaranya yang peluh dengan kemiskinan. Kita perlu prihatin. Mereka hanya berbicara seolah kita harus maju. Tapi kenyataannya mereka mengabaikan generasi yang akan membela tanah air seterusnya. Mereka biarkan rakyat kecil menangis, mengiba, kelaparan, sengsara. Itulah kiranya gambaran negeri kita ini. Negeri Indonesia.
Dalam buku antologi puisi “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia” yang di dalamya berisi coretan pena oleh 51 penyair pilihan berisi kritik sosial. Membaca buku tersebut membawa kita seakan dekat dengan berbagai kehidupan yang ada di negeri ini. Di dalamnya berisi kisah sehari-hari yang dirangkai dalam kata-kata berbentuk puisi. Tentu di dalamnya menggambarkan kehidupan rakyat Indonesia. Sebagai salah satu potret rakyat kecil yang ada di negeri ini juga dituliskan dalam puisi di dalam buku tersebut. Seperti dalam puisi “Doa Orang Miskin’’ karya Abah Yoyok. Di dalamnya menggambarkan betapa sabarnya orang miskin menghadapi hidup tanpa diperhatikan penguasa yang saling berkhianat. Mereka yang semakin terpuruk hanya mampu berdoa agar mampu melawan orang-orang berkuasa yang tak tahu diri di negeri ini. Di buku tersebut juga menguraikan keadilan yang begitu aneh dirasakan oleh masyarakat. Penyair Endang Werdiningsih menyairkannya dalam puisi “Tragedi Sandal Jepit”. Ia mengutarakan tentang hukuman lima tahun bagi anak kecil yang mencuri sandal jepit. Sedangkan pencuri-pencuri di bangku terhormat sedikit disepelekan kasusnya.
Jika memahami lebih dalam negeri ini, memang banyak permasalahan sosial yang masih belum terselesaikan. Bahkan sangking kebalnya, masalah itu semakin membudaya. Dari permasalahan politik yang berkuasa hingga rakyat kecil. Dalam buku puisi “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia” banyak sekali puisi yang menyinggung tentang penguasa di negeri ini. Diantaranya: DPO Koruptor, Kerudung, Beri Aku Lupa, Kemana Kau Bawa Negeri Ini, Perihal Janji, Interupsi, Kepada Wakil Rakyat, dan masih banyak lagi. Dalam puisi “Perihal Janji” Boedi Ismanto S.A menyinggung para pejabat negeri yang suka mengumbar janji dan akan ingkar setelah mereka berkuasa. Di dalam buku tersebut juga menyinggung zaman yang semakin rusak dengan generasi yang tak tahu diri. Seperti dalam puisi “Isyarat” karya Abah Yoyok. Dalam puisi tersebut menjelaskan bahwa kaum muda sekarang yang semakin rusak. Kaum muda zaman sekarang tidak asing lagi dengan alkohol, ganja, dan barang haram lainnya. Bahkan mereka akrab dengan barang-barang tersebut. Tepat pada bait terakhirnya, Abah Yoyok menegaskan.
Dinding  hari menyempit
Kembang melati bau mayit
Akan runtuh sebuah generasi
Sebentar lagi
Herman Syahara menuliskan puisi “Penyair Mati Di Layar Televisi”. Di dalamnya seakan penyair menuangkan curahan hatinya, bahwa penyair telah tak dianggap di masyarakat. Bahkan di televisi hanya membutuhkan sensasi. Bukan karya, bahkan bukan puisi yang mungkin bagi mereka kurang trendi. Tapi itulah yang selama ini digemari. Penyair seakan telah mati di televisi. Puisi “Keping Deritadari Aspar Paturusi juga tidak kalah indahnya. Di dalamnya ia memaparkan zaman sekarang memang penuh kedzaliman. Kita telah merdeka. Tapi siapa sangka kita harus lebih waspada. Jika dahulu perang adalah hal yang menakutkan, di masa kini manusia-manusia bertopeng yang diam-diam berkhianat tak kalah seram. Mereka perlahan-lahan menghancurkan negara.
Di dalam buku antologi puisi “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia” yang paling menarik adalah puisi karya Handrawan Nadesul yang berjudul “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia”. Di dalamnya berisi ketabahan para rakyat kecil yang selalu dibohongi para pejabat. Sedangkan pejabat seperti lupa, bahkan tak melihat rakyatnya. Berikut cuplikan puisinya
Bangga aku jadi rakyat Indonesia
Masih gigih berjalan kendati kehilangan mendapat cukup makan cukup pangan
Tak ada dendam yang berjasa terabaikan yang mengabdi tersingkirkan
Tersaruk-saruk atlet veteran menjual medali buat makan
Hujan batu di negeri orang karena emas di negeri sendiri tak memberi pekerjaan
Masih tekun menanti kapan di stasiun tempat bisa hidup pantas akan tiba
Kalau mereka masih bertanya tak berkata-kata
Karena teramat mencintai republik sepermai ini

Bangga aku jadi rakyat Indonesia
Masih tersenyum padahal sudah lapar sekali
Masih terdiam padalah sudah perih sekali
Masih menerima padahal sudah  pilu sekali
Masih bertahan padahal sudah payah sekali
Belum menangis dari jatuh-bangun berkali-kali
Dibohongi berulaang-ulang kali
Mereka kuat karena merasa hidup memang harus begini
Atau barangkali karena niscaya Gusti ora sare.
Handrawan Nadesul menggambarkan dengan jelas kehidupaan negeri ini di puisinya. Ia menceritakan rakyat kecil yang hanya diam melihat perlakuan penguasa yang semena-mena. Pejabat yang hanya terdiam melihat fenomena hidup rakyatnya yang terseok-seok, bahkan mungkin mereka menikmatinya. Dalam puisi yang berjudul “Garudaku Mengeram Peradaban”, M. Enthieh Mudakir juga mengungkapkan hal yang sama seperti yang diungkapkan oleh Handrawan Nadesul dalam puisinya “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia”.
Handrawan Nadesul juga mengungkap gejolak rakyat Indonesia dalam puisinya yang berjudul “Jangan Tunggu Rakyat Kehabisan Diam”. Di dalam puisi tersebut Handrawan Nadesul seakan mengungkapkan pesan bahwa jangan salahkan rakyat jika suatu saat memberontak, karena sang penguasa negeri sudah lupa diri dan ingkar janji. Rakyat yang menjadi tanggung jawab mereka pun diabaikan.
Dalam buku antologi puisi “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia” memang di dalamnya lebih banyak berisi puisi yang menyinggung tentang penguasa negeri. Mungkin itu memang menjadi fenomena utama yang menarik disinggung oleh para penyair. Namun di dalam buku tersebut masih ada banyak puisi menarik yang menyinggung masalah sosial dalam negeri kita, Indonesia. Diantaranya puisi mengenai kehidupan rakyat kecil, dari kemiskinan, mata pencaharian, pendidikan, kehidupan anak jalanan, juga mengenai batin para penyair, dan masih ada banyak lagi. Buku tersebut memang diciptakan atas dasar antusias para penyair akan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia sekarang ini. Buku ini adalah bentuk kebanggan para penyair atas tumpah darah terhadap tanah air Indonesia, juga memuat pesan agar Indonesia tidak terbelenggu jiwanya, dan bisa berubah lebih maju dari keadaan sekarang.

1 komentar:

  1. wah disain blog anda begitu menarik, coba penataan warna lebih diperhatikan lagi supaya blog anda lebih menarik. :)
    untuk postingan yang panjang coba anda gunakan insert jump break, supaya postingan tidak terlihat terlalu panjang, hal tersebut aka menambah kerapian blog anda ;)

    BalasHapus