Selasa, 06 Januari 2015

Mataraisa



Karya   Abidah El Khalieqy
Oleh     Qismatun Nihayah

Seorang sastrawati yang cerdas juga sosok perempuan yang berani merespon segala bentuk ketidakadilan yang dialami para kaum hawa. Namanya Raisa Fairuza, ia cantik, kulitnya putih,dan matanya berbinar. Tidak hanya lelaki yang mengaguminya, bahkan kaum hawa pun banyak yang mengaguminya. Ia adalah seorang novelis yang memperjuangkan nasib perempuan. Dalam novelnya ia banyak menyuarakan kebebasan perempuan untuk berkarya. Raisa ialah seorang novelis yang sukses, ia juga santriwati cerdas lulusan dari pesantren. Ia sering kali mendapat kehormatan untuk berceramah di depan banyak khalayak, entah dalam acara bedah novel, seminar atau lainnya.
            Dalam perjalanan karriernya, Raisa ditemui banyak rintangan. Apalagi ia menyuarakan keadilan bagi kaum hawa yang selama ini terbelengu. Salah satu rintangan terbesarnya adalah saat ia diundang talkshow bedah novel di sebuah Universitas yang seluruh penontonnya adalah santri dari sebuah pesantren. Dalam Talkshow tersebut sang kiai dari para santri tersebut juga hadir. Raisa tidak menyangka bahwa sang kiai begitu murka terhadapnya.
“Anak-anakku semuanya. Jangan percaya dengan satu huruf pun dari buku terkutuk ini. Dari A sampai Z, isinya hanya rantaian kufur demi kufur! Siapapun yang membacanya, saya kuatir akan jadi kafir seperti butu kafir ini!” seru pak kiai.
“Dia si pengarang yang katanya masyhur ini, mungkin lupa tak kenal Tuhannya. Melalui jari-jari lentiknya itu, ia mamalu Tuhan dan mengarit Rasulullah sallalllahu ‘alaihi wa alihi wa sallam” lanjutnya dengan menunjuk kea rah Raisa.
Namun dengan penjelasan Raisa, semua masalah dapat terselesaikan, bahkan ada seorang santri yang meminta maaf kepada Raisa.
“Mbak Raisa yang cantik dan wangi. Terimakasih atas kedatanganya ke kampus kami. Benar-benar suatu kehormatan. Kami harap, jangan lupakan kami maafkan kekasaran pak kiai,” salah seorang mahasiswi, agaknya ketua dema, mungkasi pertemuan siang yang membara.
        Sikap ramah dan santun Raisa terhadap semua orang menjadikan Raisa disegani oleh semua orang, khususnya kaum muda. Bahkan banyak kaum muda yang datang ke rumah Raisa hanya sekadar mencurahkan isi hati mereka dan meminta solusi atas masalah yang mereka hadapi. Raisa begitu bijak menyikapinya. Penggemarnya tak terbendung hingga hampir setiap hari rumah Raisa didatangi oleh penggemarnya. Raisa juga tak segan-segan memberi bantuaan kepada para penggemar yang datang dengan masalah dan meminta bantuan kepadanya. Seringkali Raisa memberi uang kepada mereka yang menurut Raisa memang membutuhkan. Dengan kebaikan  Raisa tersebut banyak juga yang menyalah gunakan dengan pura-pura datang ke rumah Raisa dengan iba dan meminta sejumlah uang dengan jumlah besar. Untung Raisa mempunyai manager yang selalu menjaganya, sehingga Raisa terhindar dari tipuan para penggemarnya yang hendak memerasnya.
Raisa mempunyai manager pribadi seorang laki-laki cerdas dari Aceh, namanya Fozan Ibadi. Usianya tak terpaut jauh dengan Raisa. Ia mempunyai rambut gondrong, hidung mancung, dan berkulit putih. Raisa dan Fozan Ibadi begitu akrab. Sangking akrabnya, Raisa sangat kesepian jika ditinggal managernya itu. Raisa tidak menyadari bahwa telah tumbuh benih-benih cinta di antara ia dan managernya itu. Namun setiap Fozan Ibadi menyidik Raisa dengan pertanyaan-pertanyaan serius bahwa ia telah mencintai Raisa, Raisa selalu mengelak. Ia tidak mengakui bahwa ia juga merasakan hal sama.
Sampai suatu ketika saat ia didekati  oleh ustadznya dahulu semasa ia di pesantren, ia merasa risih. Raisa takut jika ia jadi dilamar oleh ustadznya tersebut. Hingga ia meminta bantuan kepada Fozan Ibadi agar ustadznya menjauhinya. Namun saat Fozan Ibadi kembali menanyakan perasaan Raisa terhadapnya, Raisa masih menyangkal bahwa telah mencintai managernya itu. Akhirnya Fozan Ibadi berkomplot dengan ayah Raisa untuk menjebak Raisa agar mengakui bahwa ia telah mencintai mangernya itu. Ayah Raisa membohongi Raisa bahwa Fozan Ibadi akan segera melamar Amira, sepupu Raisa. Raisa kaget. Dengan segera ia menanyakan hal tersebut kepada Fozan Ibadi langsung.
“Matikan handphonemu dan Abang telpon, oke?”
“Tak apa, bang. Penting ni! Sejak kapan Abang kenal Amira?”
“Amira? Siapa dia? Ada apa, Raisa?”
“Sepupuku. Ayah bilang, Abang mau melamar si Amira. Benarkah?”
“ehm…. Ayah bilang begitu?”, Fozan Ibadi menegakkan punggung pindah ke kursi dengan antusias, “Memang wajah Amira mirip Raisa ya?”, lanjutnya.
“Memang kenapa kalau mirip? Kukasih tau ni Bang. Meski wajahnya mirip denganku, dia tak bisa bikin puisi!”
“Loh, kok sewot gitu! Cemburu ya?”
Sorilah yaw! Gak level”
“Haha! Tak semua orang harus pandai bikin puisi, sayang? Untuk pendamping hidup, ada faktor lain yang lebih penting.”
“Ya, tapi Amira bukanlah pendamping hidup yang cocok bagi Abang! Amira tak sekufu’ dengan Abang! Pokoknya tak boleh!”
“Mengapa begitu, Raisa? Amira baik. Dia juga mirip denganmu. Pendidikannya cukup. Dari keluarga baik-baik. Nah! Apalagi?”
“Idih! Amira itu norak Bang! Lagi pun, Abang tak boleh menikah dengan perempuan mana pun selain aku!”
Raisa terperangkap jebakan Fozan Ibadi. Akhirnya ia mengakui bahwa ia mencintai Fozan Ibadi, bahkan ingin menikah dengannya. Akhirnya Raisa Fairuza dan Fozan Ibadi menikah.
Pada intinya, novel ini ingin menyentuh nurani agar lebih hidup. Nurani para hawa agar berpikiran aktif, reaktif dan kritis, nurani para adam agar semakin menyadari posisi pasangan mereka. Kedua hadir untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing.

3 komentar:

  1. Bu guru Naya....desain blog Anda cukup menarik, namun ada beberapa postingan yang perlu diatur lagi terutama dalam pemilihan bentuk huruf yang masih beraneka ragam...hehe
    Selamat berkarya, sukses selalu

    BalasHapus
  2. iya untuk postingan ini sudah saya edit berkali-kali tapi fontnya masih berbeda-beda gitu Bu Farida :(

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah sudah berhasil saya edit. fontnya sudah seragam Bu Farida. Terimakasih kritik dan sarannya :)

    BalasHapus