Karya Abidah El Khalieqy
Oleh Qismatun Nihayah
Seorang sastrawati yang cerdas juga
sosok perempuan yang berani merespon segala
bentuk ketidakadilan yang dialami para kaum hawa. Namanya Raisa
Fairuza, ia cantik, kulitnya putih,dan matanya berbinar. Tidak hanya lelaki
yang mengaguminya, bahkan kaum hawa pun banyak yang mengaguminya. Ia adalah seorang novelis yang memperjuangkan nasib perempuan.
Dalam
novelnya ia banyak menyuarakan kebebasan perempuan untuk berkarya. Raisa ialah
seorang novelis yang sukses, ia juga santriwati cerdas lulusan dari pesantren. Ia sering kali mendapat kehormatan untuk berceramah di
depan banyak khalayak, entah dalam acara bedah novel, seminar atau lainnya.
Dalam perjalanan karriernya, Raisa
ditemui banyak rintangan. Apalagi ia menyuarakan keadilan bagi kaum hawa yang
selama ini terbelengu. Salah satu rintangan terbesarnya adalah saat ia diundang
talkshow bedah novel di sebuah Universitas yang seluruh penontonnya adalah
santri dari sebuah pesantren.
Dalam Talkshow tersebut sang kiai dari para santri tersebut juga hadir. Raisa
tidak menyangka bahwa sang kiai begitu murka terhadapnya.
“Anak-anakku semuanya. Jangan percaya
dengan satu huruf pun dari buku terkutuk ini. Dari A sampai Z, isinya hanya
rantaian kufur demi kufur! Siapapun yang membacanya, saya kuatir akan jadi
kafir seperti butu kafir ini!” seru pak kiai.
“Dia si pengarang yang katanya masyhur
ini, mungkin lupa tak kenal Tuhannya. Melalui jari-jari lentiknya itu, ia mamalu
Tuhan dan mengarit Rasulullah sallalllahu ‘alaihi wa alihi wa sallam” lanjutnya
dengan menunjuk kea rah Raisa.
Namun dengan penjelasan Raisa, semua
masalah dapat terselesaikan, bahkan ada seorang santri yang meminta maaf kepada
Raisa.
“Mbak Raisa yang cantik dan wangi.
Terimakasih atas kedatanganya ke kampus kami. Benar-benar suatu kehormatan.
Kami harap, jangan lupakan kami maafkan kekasaran pak kiai,” salah seorang
mahasiswi, agaknya ketua dema, mungkasi pertemuan siang yang membara.
Sikap
ramah dan santun Raisa terhadap semua orang menjadikan Raisa disegani oleh
semua orang, khususnya kaum muda. Bahkan banyak kaum muda yang datang ke rumah
Raisa hanya sekadar mencurahkan isi hati mereka dan meminta solusi atas masalah
yang mereka hadapi. Raisa begitu bijak menyikapinya. Penggemarnya tak
terbendung hingga hampir setiap hari rumah Raisa didatangi oleh penggemarnya.
Raisa juga tak segan-segan memberi bantuaan kepada para penggemar yang datang
dengan masalah dan meminta bantuan kepadanya. Seringkali Raisa memberi uang
kepada mereka yang menurut Raisa memang membutuhkan. Dengan kebaikan Raisa tersebut banyak juga yang menyalah
gunakan dengan pura-pura datang ke rumah Raisa dengan iba dan meminta sejumlah
uang dengan jumlah besar. Untung Raisa mempunyai manager yang selalu
menjaganya, sehingga Raisa terhindar dari tipuan para penggemarnya yang hendak
memerasnya.
Raisa mempunyai manager pribadi seorang
laki-laki cerdas dari Aceh, namanya Fozan Ibadi. Usianya tak terpaut jauh
dengan Raisa. Ia mempunyai rambut gondrong, hidung mancung, dan berkulit putih.
Raisa dan Fozan Ibadi begitu akrab. Sangking akrabnya, Raisa sangat kesepian
jika ditinggal managernya itu. Raisa tidak menyadari bahwa telah tumbuh
benih-benih cinta di antara ia dan managernya itu. Namun setiap Fozan Ibadi menyidik
Raisa dengan pertanyaan-pertanyaan serius bahwa ia telah mencintai Raisa, Raisa
selalu mengelak. Ia tidak mengakui bahwa ia juga merasakan hal sama.
Sampai suatu ketika saat ia
didekati oleh ustadznya dahulu semasa ia
di pesantren, ia merasa risih. Raisa takut jika ia jadi dilamar oleh ustadznya
tersebut. Hingga ia meminta bantuan kepada Fozan Ibadi agar ustadznya
menjauhinya. Namun saat Fozan Ibadi kembali menanyakan perasaan Raisa
terhadapnya, Raisa masih menyangkal bahwa telah mencintai managernya itu.
Akhirnya Fozan Ibadi berkomplot dengan ayah Raisa untuk menjebak Raisa agar
mengakui bahwa ia telah mencintai mangernya itu. Ayah Raisa membohongi Raisa
bahwa Fozan Ibadi akan segera melamar Amira, sepupu Raisa. Raisa kaget. Dengan
segera ia menanyakan hal tersebut kepada Fozan Ibadi langsung.
“Matikan handphonemu dan Abang telpon, oke?”
“Tak apa, bang. Penting ni! Sejak kapan
Abang kenal Amira?”
“Amira? Siapa dia? Ada apa, Raisa?”
“Sepupuku. Ayah bilang, Abang mau
melamar si Amira. Benarkah?”
“ehm…. Ayah bilang begitu?”, Fozan
Ibadi menegakkan punggung pindah ke kursi dengan antusias, “Memang wajah Amira
mirip Raisa ya?”, lanjutnya.
“Memang kenapa kalau mirip? Kukasih tau
ni Bang. Meski wajahnya mirip denganku, dia tak bisa bikin puisi!”
“Loh, kok sewot gitu! Cemburu ya?”
“Sorilah
yaw! Gak level”
“Haha! Tak semua orang harus pandai bikin puisi, sayang? Untuk pendamping
hidup, ada faktor lain yang lebih penting.”
“Ya, tapi Amira bukanlah pendamping
hidup yang cocok bagi Abang! Amira tak sekufu’
dengan Abang! Pokoknya tak boleh!”
“Mengapa begitu, Raisa? Amira baik. Dia
juga mirip denganmu. Pendidikannya cukup. Dari keluarga baik-baik. Nah!
Apalagi?”
“Idih! Amira itu norak Bang! Lagi pun,
Abang tak boleh menikah dengan perempuan mana pun selain aku!”
Raisa terperangkap jebakan Fozan Ibadi.
Akhirnya ia mengakui bahwa ia mencintai Fozan Ibadi, bahkan ingin menikah
dengannya. Akhirnya Raisa Fairuza dan Fozan Ibadi menikah.
Pada intinya,
novel ini ingin menyentuh nurani agar lebih hidup. Nurani para hawa agar berpikiran aktif, reaktif dan
kritis, nurani para adam agar semakin menyadari posisi pasangan mereka. Kedua
hadir untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Bu guru Naya....desain blog Anda cukup menarik, namun ada beberapa postingan yang perlu diatur lagi terutama dalam pemilihan bentuk huruf yang masih beraneka ragam...hehe
BalasHapusSelamat berkarya, sukses selalu
iya untuk postingan ini sudah saya edit berkali-kali tapi fontnya masih berbeda-beda gitu Bu Farida :(
BalasHapusAlhamdulillah sudah berhasil saya edit. fontnya sudah seragam Bu Farida. Terimakasih kritik dan sarannya :)
BalasHapus