Senin, 12 Januari 2015

Ulasan Antologi Cerpen "Perempuan Kedua"



Judul Buku       : Perempuan Kedua
Pengarang        : Labibah Zain
Tahun Terbit     : 2008
Oleh                  : Qismatun Nihayah

          Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) “Perempuan Kedua” karya Labibah Zain berkisah tentang realita perempuan dari berbagai sudut. Ia menceritakan tentang perempuan dengan gamblang. Bahwa perempuan bisa tangguh. Bisa pula rapuh. Bisa setia. Bisa pula membagi cinta dengan cara jadi perempuan kedua. Dalam buku tersebut terdapat tiga belas judul cerpen yang di dalamnya menyangkut cinta, daya juang, hingga masalah sosial. Dalam kumpulan cerpen tersebut berisi tiga belas judul cerpen yang menarik untuk dibaca, yakni: Aina, Perempuan Kedua, Sepotong Wajah, Fragmen Musim Gugur, Perempuan Pencari Dada Ibu, Calana Dalam, Kamar Berlumut, Laily, Ma’e, Perempuan Cahaya, Rumah di Seberang Kuburan, Awan Menangkap Rembulan, dan Hari Ini Ada yang Mati Lagi.
Labibah Zain menceritakan dengan jelas dari sisi perempuan yang sering kali disakiti, juga tidak jarang terjepit oleh pilihan yang tidak sama sekali tidak menguntungkan bagi perempuan. Seperti yang diceritakan dalam  salah satu cerpen dalam buku tersebut yakni “Aina”. Disitu diceritakan Aina adalah seorang syarifah (sebutan untuk perempuan yang mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah, putri Rasulullah Muhammad Saw) yang menjalin hubungan dengan ahwal (sebutan untuk orang yang tidak mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah, putri Rasulullah Muhammad Saw). Namun dalam keluarganya seorang syarifah tidak boleh menikah dengan seorang ahwal. Jika ia menikah dengan seorang ahwal maka keturunan selanjutnya akan terputus sebagai syarifah atau habib (sebutan untuk lelaki yang mempunyai garis keturunan langsung dari Fathimah, putri Rasulullah Muhammad Saw). Lalu ia dijodohkan dengan Haidar seorang habib pilihan keluarganya. Namun ia masih menjalin hubungan dengan Hartono, seorang ahwal yang ia cintai. Ia tidak diberi kesempatan memilih oleh keluarganya. Akhirnya ia memutus hubungan dengan Hartanto dan menikah dengan Haidar. Namun setelah menikah hidupnya tidak bahagia. Ia tidak diperlakukan baik oleh Haidar. Bahkan setelah tiga bulan ia menikah Haidar menikah diam-diam dengan perempuan lain. Haidar dendam terhadap Aina karena dahulu pernah dicampakkan dan lebih memilih Hartoto. Menurutnya ini tidak seberapa dibanding sakit hatinya dahulu saat ia dicampakkan oleh Aina. Bukan hanya itu Aina juga sering dipukul oleh Haidar. Aina tidak betah dengan suaminya, namun ia tidak berani mengadu. Ia tidak tahu ingin mengadu kepada siapa. Ia juga takut jika ia bercerita kepada ibunya akan menyakiti ibunya, karena ibunya sedang menderita penyakit jantung. Akhirnya ia memilih diam. Di sini jelas digambarkan seorang perempuan yang tersudut oleh pilihan yang tidak ia inginkan. Bahkan hanya sekadar mencurahkan isi hatinya pun ia tak  kuasa demi menjaga perasaaan orang lain. Meski ia sakit.
          Dalam kumpulan cerpen “Perempuan Kedua”, Labibah Zain menyajikan potret kaya ekspresi, selain secara gamblang memaparkan kondisi perempuan, ia telaten memperhatikan keinginan, harapan, kesedihan, termasuk yang membuat para perempuan bahagia. Termasuk yang ia ceritakan dalam cerpennya yang berjudul “Perempuan Cahaya”. Di dalamnya ia menceritakan seorang perempuan yang selalu dikhianati oleh lelaki, namanya Ely. Ia memiliki teman yang selalu setia mendampinginya saat ia terpuruk karena hatinya telah disobek-sobek oleh lelaki, ia memanggilnya kak Arum. Kak Arum adalah teman yang ia kenal saat menuntut ilmu di negeri seberang. Tapi hubungannya merenggang saat ia dekat dengan lelaki yang masih menjadi suami orang. Kak Arum menasihati agar menjauhinya tapi Ely tetap melanjutkan hubungannya bersama lelaki tersebut dan lebih memilih menjauh dari kak Arum. Tapi setelah itu Ely kembali dikhianati lelaki tersebut yang hanya memanfaatkan Ely. Akhirnya Ely kembali berteduh kepada Kak Arum. Kak arum laksana cahaya yang selalu menerangi Ely saat gelap tak tahu arah.
Kak Arum telah memiliki seorang suami yang soleh serta dua orang anak yang lucu. Mereka sangat dekat dengan Ely meski telah terpisah karena kak Arum harus kembali ke negerinya bersama suami serta dua anaknya. Suatu ketika ia bermimpi bertemu dengan kak Arum dan kedua anaknya yang sedang bermain di taman. Di wajah kak Arum, ia melihat kesedihan. Wajahnya begitu sendu. Namun kak Arum menguatkan diri sembari berbisik.
          “Aku dan anak-anak baik-baik saja di sini. Kau lihat sendiri kan, El? Anak-anakku berumah di taman itu. Burung-burung itu menjadi penjaga mereka dan batu-batuan bernyanyi bersama mereka. Satu yang aku cemaskan. Bang Edi tak bisa aku ajak serta. Aku tahu dia sangat terpukul dan kesedihannya membuatku menangis. Berjanjilah, El! Kau akan mengatakan pada bang Edi bahwa aku dan anak-anak baik-baik saja di sini. Berjanjilah, El, bahwa kau mau menjaga dan merawatnya dalam sebuah rumah.”
          Saat ia terbangun dari mimpinya ia tersentak, karena ia sadar bahwa kak Arum telah meninggal dunia terseret arus tsunami beserta anak-anaknya saat suaminya seminar di Jakarta, Desember tahun lalu. Ia mencoba mengartikan mimpinya. Tapi ia gagal. Lalu ia segera mengambil al-Quran untuk menenangkan hatinya serta berharap lantuan ayat-ayat yang dibacanya akan menambah kebahagiaan kak Arum beserta anak-anaknya di alam barzakh. Tepat pada ayat terakhir surat Yasin teleponnya berbunyi. Lalu ia mengangkatnya. Ternyata dari Bang Edi, suami kak Arum. Sebelum ia bercerita tentang mimpinya, bang Edi mendahuluinya dengan berkata, “Ely, maukah kau jadi istriku?”. Ely tercekat, tetapi tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.
          Dalam cerpen tersebut Labibah Zain menampilkan cerita dari sudut perempuan, sebuah kebahagiaan yang tidak ia duga datangnya dan takdir yang begitu indah yang bisa datang dari hal yang tidak pernah ia minta, bahkan tidak pernah terpikir olehnya. Labibah Zain juga menceritakan bahwa perempuan terlibat dengan seluruh persoalan, baik secara pribadi yakni masalah rumah tangga sampai pada masalah sosial yang berpengaruh besar dalam kehidupan, seperti kemiskinan, pendidikan, serta kesetaraan derajat. Seperti yang ia gambarkan dalam cerpennya yang berjudul “Laily” ia menggambarkan dengan jelas bahwa perempuan belum mempunyai kesetaraan derajat yang diakui masayarakat. Di dalamnya diceritakan Laily adalah seorang perempuan sukses yang gajinya melebihi suaminya. Meski begitu ia tidak pernah sekalipun merendahkan suaminya. Walaupun ia tidak pernah mempermasalahkan gaji suami yang pas-pasan. Ia merasa suaminya tidak menyukainya terhadap derajat karrirnya yang lebih tinggi. Meski ia diakui sukses oleh masayarakat namun tak bisa dipungkiri bahwa perempuan yang terlalu sibuk dengan pekerjaanya dianggap durhaka terhadap suami. Malangnya lagi setelah delapan tahun ia menikah, ia tidak juga dikaruniai anak. Suatu ketika suaminya meminta mengadopsi anak tetangga sebelah yang tidak tahu ayahnya kemana. Setelah diadopsi Laily tidak suka dengan perlakuan anak tersebut yang tidak sopan. Lalu ia membentaknya, namun bentakan itu membuat suaminya marah. Ia tidak terima dengan perlakuan Laily. Ditamparnya Laily, dilemparkan beberapa cambukan sabuk di atas badan Laily. Lalu Laily diusir dari rumah. Berkali-kali Laily menggedor pintu, namun tak kunjung dibuka olah suaminya. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di rumah temannya sementara sembari menghilangkan traumanya atas perlakuan suaminya. Seminggu kemudian Laily beranikan diri untuk datang ke kampus. Ia mendapati pandangan iba dari beberapa orang yang ada di sana. Ternyata berita yang tersebar selama ia berdiam diri di rumah temannya adalah ia meninggalkan rumah dengan keadaan hilang ingatan. Memang, istri meninggalkan suami adalah aib yang tak terkira, dan pantas diperlakukan apa saja sebagai imbalannya. Yang tak kalah menyakitkan dari berita yang beredar adalah suaminya mengakui bahwa anak yang ia adopsi beberapa hari lalu adalah anak kandungnya hasil pernikahan siri dengan ibu anak tersebut saat Laily berjuang menyelesaikan tesisnya di luar negeri enam tahun lalu.
          Dalam cerita tersebut diceritakan betapa beratnya menjadi perempuan. Keadilan berupa kesetaraan derajat terhadap perempuan belum begitu diakui masyarakat. Menjadi perempuan mandiri terkadang malah berdampak menimbulkan masalah terhadap diri sendiri. Masalah sosial yang menjerat perempuan yang lain adalah kemiskinan yang terkadang membuat perempuan yang terpaksa melakukan pilihan yang tidak ia inginkan. Seperti yang Labibah Zain ceritakan dalam salah satu cerpennya yang berjuduk “Ma’e”. Labibah Zain menceritakan kebringasan laki-laki yang menjadikan perempuan-perempuan malang menjadi korbannya. Salah satunya adalah perempuan dalam cerita “Ma’e” ini. Ia dilahirkan tanpa seorang ayah. Ia selalu disudutkan oleh pergaulan di kampungnya hanya karena ia anak jadah (anak yang lahir di luar nikah). Sampai dewasa ia telah kenyang dengan cemoohan warga. Ia hidup dalam keterbatasan materi. Hingga akhirnya ia kuliah di luar kota, ia berjanji akan membahagiakan ibunya, akan membebaskan ibunya dari kemelaratan yang selama ini menjeratnya. Ia bekerja keras sambil kuliah. Tragisnya di tengah perjalanan ia bekerja keras, di tanah kelahirannya terkena longsor dan rumahnya hancur di telan bencana itu. Ia semakin sedih melihat ibunya tinggal di tenda. Ia ingin segera membangun rumah untuk ibunya yang sedikit layak. Tentunya ia harus bekerja lebih keras lagi. Akhirnya ia terpaksa memilih untuk kawin kontrak dengan lelaki bejat yang memang selalu kawin kontrak dengan perempuan lalu di tinggal setelah itu mencari pengganti baru dan seterusnya. Semua itu terpaksa ia lakukan karena ia ingin segera mendirikan rumah untuk ibunya yang tinggal di tenda pengungsian. Setelah tiga bulan ia kawin kontrak ia mendapatkan uang yang cukup untuk membangun rumah untuk ibunya. Lalu ia pulang untuk menemui ibunya. Sesampainya di kampung halaman, ia dikejutkan oleh tetangga-tetangganya yang mengatakan bahwa ayahnya telah datang. Ia heran, tetangganya yang selama ini mencelanya memberikan sambutan senyum kepadanya. Setelah sampai di depan tenda pengungsian ibunya, ibunya berkata,
“Apa kataku, ayahmu pasti datang. Ciumlah tangan ayahmu nak!”
 Ibunya menunjuk pada lelaki yang baru saja keluar dari tenda. Ia terpana, lekaki itu pun terpana. Kemudian ibunya menceritakan perihal perkawinan kontraknya dengan ayah. Ayahnya salah tingkah. Begitu pula dengannya. Betapa tidak. Ayahnya adalah suami kontraknya. Dalam cerita tersebut sungguh memilukan, bahwa kemiskinan membuat perempuan memilih pilihan yang menyakitkan demi kebahagiaan ibunya. Justru malah ia kawin kontrak dengan ayah kandungnya sendiri.
          Pada puncaknya Labibah Zain menceritakan dalam cerpen “Perempuan Kedua” yang bercerita tentang keteguhan hati perempuan yang rela dimadu oleh suaminya. Alasan suaminya adalah ingin membahagiakan janda dan menyantuni anak yatim. Istrinya menyetujuinya. Tetapi pada akhirnya saat suaminya pergi melamar janda yang ingin ia jadikan istri kedua, istrinya menyelipkan surat di pot bunga di teras rumahnya bahwa ia pulang kepada orang tuanya. Ia menggugat cerai suaminya dan meminta agar membahagiakan janda beserta anak janda tersebut. Malangnya pada lamarannya kepada janda tersebut sang suami di tolak. Pada akhirnya ia hidup sendiri. Labibah Zain meceritakan betapa mudahnya lelaki mengkhianati ikatan suci pernikahan dengan alasan yang membuat orang iba. Padahal sebenarnya lelaki hanya tak dapat mengendalikan nafsunya.
          Labibah Zain memainkan berbagai variasi permasalahan individu dan sosial yang di dalamnya ada harapan pada idealitas, korban patriarkhi, pengaruh mistik dan takhayul, dan masih banyak lagi. Ia mengemas kata-kata sederhana tetapi penuh makna sehingga tersampaikan maksud yang ia ceritakan. Kisah-kisah tersebut bisa terjadi pada semua perempuan, di Indonesia maupun luar negeri, baik kota maupun desa. Ia menulis dengan pesan yang jelas, dekat dengan kisah nyata yang ada, serta beberapa ada yang mengandung humor kuat.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar