Oleh Qismatun Nihayah
Aku terbangun dari tidur panjangku. Kuraih telepon genggamku. Kulihat jam menunjukkan pukul 8 pagi. Kupegangi kepalaku, rasanya seperti telah tertimpa lemari.Pusing sekali, berat sekali untuk bangun. Masih terngiang dikepalaku kejadian kemaren sore. Rasanya aku tak ingin bangun lagi. Mantan pacarku, Aldi yang baru saja kemaren sore aku memutuskan hubungan dengannya. Bukan itu yang membuatku menangis sepanjang malam hingga mataku sembab pagi ini. Melainkan sahabatku sendiri yang menghianatiku dengan berhubungan rahasia di belakangku. Dengan Aldi, yang masih menjadi pacarku saat itu. Kalau hanya putus cinta aku tak bakal terpuruk seperti ini.Pasalnya sudah berkali-kali aku putus cinta. Tapi ini sahabat karibku. Teman setiaku. Ia temanku sejak kecil karena kami memang satu sekolah sejak Sekolah Dasar (SD), juga ibunya adalah sahabat almarhum ibuku.
Aku terbangun dari tidur panjangku. Kuraih telepon genggamku. Kulihat jam menunjukkan pukul 8 pagi. Kupegangi kepalaku, rasanya seperti telah tertimpa lemari.Pusing sekali, berat sekali untuk bangun. Masih terngiang dikepalaku kejadian kemaren sore. Rasanya aku tak ingin bangun lagi. Mantan pacarku, Aldi yang baru saja kemaren sore aku memutuskan hubungan dengannya. Bukan itu yang membuatku menangis sepanjang malam hingga mataku sembab pagi ini. Melainkan sahabatku sendiri yang menghianatiku dengan berhubungan rahasia di belakangku. Dengan Aldi, yang masih menjadi pacarku saat itu. Kalau hanya putus cinta aku tak bakal terpuruk seperti ini.Pasalnya sudah berkali-kali aku putus cinta. Tapi ini sahabat karibku. Teman setiaku. Ia temanku sejak kecil karena kami memang satu sekolah sejak Sekolah Dasar (SD), juga ibunya adalah sahabat almarhum ibuku.
Pagi
ini aku malas sekali menginjakkan kakiku ke lantai. Belum ingin bangun dan
berangkat kuliah. Malas sekali rasanya bertemu dengan Aldi.Kami berpacaran satu
tahun yang lalu saat aku menginjak kuliah semester dua. Lalu di semester ketiga
karena kami dari program studi yang sama, kami memutuskan untuk mengambil kelas
yang sama pada semua mata kuliah. Tapi itu dulu. Sekarang ingin rasanya aku
lekas ke semester lima dan pastinya mengambil kelas yang berbeda dengannya.
Andai saja aku tidak bercita-cita menjadi pelukis, ingin rasanya sekarang aku
berhenti kuliah dan masuk kuliah tahun depan dengan program studi yang berbeda
dengan Aldi. Tentunya bukan Seni Rupa.
Jam
menunjukkan pukul 8.13. Itu artinya
selama tiga belas menit aku terperangkap dalam lamunanku. Kucoba membuka
selimut dan bangun. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk
kuliah.
Sesampainya
di kampus ingin sekali kututupi mataku dengan kaca mata besar, karena sembab di
mataku belum juga hilang.
“Sil,
tadi kamu dicariin Dita.” Sapa temanku begitu aku masuk kelas.
“Oh,
iya makasih.” Timpalku
singkat.
“Eh
matamu kenapa? Habis menangis semalaman? Bertengkar ya sama Aldi? Duh udah tua
kok pacarannya masih suka bertengkar sih Sil.” Celetuknya sambil melirik Aldi
yang duduk di kursi belakang.
“Iya,
makasih ya nasehatnya Sa. Aku janji habis ini nggak bakal berkengkar lagi kok.Aku janji bakal jadi wanita yang
baik, setia, biar nggak mengecewakan
orang lagi!”Jawabku dengan nada tinggi sambil melirik Aldi.
“Ih
segitunya kamu Sil”
Aldi
hanya menunduk. Dia pasti tahu kalau baru saja aku menyindirnya. Kubenarkan
posisi dudukku, karena baru saja dosen memasuki kelas. Seketika suasana hening.
Setelah
perkuliahan selesai aku langsung pulang. Mungkin ini jadi kebiasanku yang baru.
Tidak lagi kelayapan setelah pulang kuliah mengingat temanku yang biasanya
menemaniku kelayapan sekarang menjadi orang asing bagiku. Setibanya di rumah
aku mendapati mobil yang parkir di halaman rumahku, dan aku tidak asing lagi
dengan mobil itu.Itu mobil Dita. Perebut pacarku. Setelah aku masuk ke ruang
tamu, ayah langsung saja menyapaku.
“Eh
Sil, Dita sudah menunggumu sejak tadi. Kenapa pulangmu lama sekali?”
“Iya
Pa, tadi macet. Papa ke dalam aja. Aku sama Dita mau bicara agak serius.” Jawabku
dengan nada santai sambil kusunggingkan senyumku untuk menyembunyikan
pertengkaranku dengan Dita.
“Yaudah
Papa juga mau keluar, entar kalau mau pergi sama Dita jangan sampai larut
malam. Kalian itu biasanya lupa waktu kalau
sudah berdua.” Nasihat Papa sembari keluar rumah.
Setelah
kepergian Papa, suasana menjadi canggung. Aku mencoba memecahkan kecanggungan
itu.
“Kalau
kamu kesini hanya untuk terdiam, lebih baik kamu pulang!” Celetukku memecahkan
keheningan dengan nada judes.
“A
a ak aku minta maaf Sil, ini memang salahku.” Jawabnya gugup dengan wajah
tertunduk dan pucat pasi.
“Kamu
kira ini semudah membalik telapak tangan? Ha? Aku sakit Dit, aku kecewa. Sahabatku
yang selama ini aku percaya tiba-tiba berhianat. Bayangkan kamu di posisiku!” Aku
semakin emosi. Bayangkan saja selama ini dia temanku bercanda tawa. Tempatku
menumpahkan segala kegelisahanku. Tempatku meneduh dari segala masalahku, tapi
sekarang dia jadi masalah terbesarku. Sungguh sulit kupercaya.”
“Iya,
aku yang salah. Aku minta maaf, tapi kamu harus tahu, Aldi itu butuh seseorang
yang bisa mendengarkan dia curhat, bisa ngasih solusi kalau dia punya masalah,
bisa diajak bercanda kalau dia lagi jenuh. Bukan hanya mendengarkan kamu nyeloteh. Kadang seseorang juga jenuh
kalau hanya diminta perhatian dan tidak pernah diperhatikan.” Jelas Dita sambil
menatapku.
“Maaf,
aku lancang menasehatimu, tapi terkadang seseorang juga perlu introspeksi diri
sebelum akhirnya dia menyalahkan segala
masalah yang dihadapinya. Semoga kamu mengerti, dan semakin dewasa. Maaf
aku bukan sahabat yang baik buat kamu. Aku pamit pulang dulu.” Lanjutnya dengan
tegas, dan suaranya lebih tenang dari sebelumnya.
Lalu
ia beranjak dari tempat duduk dan mulai pergi meninggalkan rumahku. Aku masih
termenung di kursi ruang tamu sejak tadi. Ya, sejak Dita berbicara denganku
sampai saat ini. Aku mencoba memahami kalimat terakhirnya. Aku mulai
membayangkan atas apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku egois, aku hanya
mau menang sendiri. Mungkin semua ini bukan semata-mata salah Dita dan Aldi,
tapi aku yang membuat Aldi jenuh dan terpaksa mencari tempat teduh untuknya
bercerita dan menumpahkan segala kegelisahannya, yaitu Dita. Iya, aku sendiri
yang menyebabkan semua ini terjadi.
Setelah
kejadian itu, kujalani hidupku dengan lebih dewasa. Rasanya hidupku sekarang
lebih tenang dan lebih berharga. Hari ini kuputuskan untuk menemui Dita. Aku
berencana untuk meminta maaf padanya dan aku ingin kembali bersahabat seperti
dulu, karena memang hanya Dita yang bisa sangat sabar menghadapiku, memberi
nasehat-nasehat bijaknya terhadapku. Sekarang aku sudah ikhlas jika Aldi
bersamanya. Dita memang wanita yang baik, dan tentunya lebih dewasa dari aku. Pantas
saja kalau Aldi lebih nyaman dengan Dita. Aku mencoba menerima semua ini.
“Dit,
maafin aku ya. Selama ini aku egois sama kamu. Makasih, kamu sudah mau jadi
sahabat aku yang super pengertian sama aku. Meski aku tidak pernah ngertiin kamu.” Kataku padanya siang itu.
“Iya
Sil. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku bersama Aldi. Kamu masih mau temenan
denganku kan?” Pintanya terhadapku.
“Tentu.
Eh iya gimana kabar Aldi?” Tanyaku sambil kusunggingkan senyumku.
“aku
tak tahu gimana kabarnya sekarang.
Sebenarnya sejak kamu menjauhiku, aku juga memutuskan untuk menjauh dari Aldi”
Jawabnya lirih.
Tenyata
setelah aku menjauhi Dita, ia memutuskan untuk menjauh juga dari Aldi. Aku
tidak tahu apa sebabnya. Mungkin karena ia merasa bersalah terhadapku. Aku pun
tidak menanyakan alasannya kepada Dita langsung.
Setelah
hubunganku dengan Dita membaik, kami pun seperti dulu. Selalu bersama kemanapun
kami pergi. Dita juga sering kuajak menginap di rumahku, karena ayahku sering
ke luar kota. Aku kasihan dengan ayah. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya,
dan saat liburan pun ia sering kesepian di rumah, karena aku terlalu sibuk
dengan kuliahku. Suatu hari aku pernah meminta ayah untuk menikah lagi. Ayahku
masih muda, tampan, pekerja keras. Jika ayahku mau pasti dia akan mendapatkan
perempuan yang baik untuk menjadi ibuku. Aku tak pernah melarang ayahku untuk
menikah lagi. Berkali-kali aku tekankan pada ayahku, aku menerima siapapun
perempuan yang ayah pilih untuk menjadi ibuku. Asalkan ayahku bahagia, aku ikut
bahagia. Hingga suatu hari ayah bertanya padaku.
“Sil,
ayah mau bicara sama kamu.” Kata ayah malam itu dengan wajah serius. Tidak
biasanya ayah mengajakku bicara seperti ini. Aku rasa ini hal yang sangat
penting.
“Ada
apa yah? Serius amat. Santai saja lah. Seperti mau sidang aja.” Jawabku dengan
bercanda.
“Sini
anak ayah yang paling cantik. Duduk dekat ayah dong. Ayah kangen.” Jawab ayah
menimpaliku.
“Ih
nggak mau ah dekat-dekat dengan ayah.
Eh aku tahu nih, biasanya kalau kaya’ gini
ayah ada maunya nih. Langsung ngomong aja yah, nggak usah basa-basi.”
“Kamu
kan pernah bilang, kamu bakal nerima siapapun yang akan ayah pilih untuk jadi
pendamping hidup ayah dan menjadi ibu kamu.” Kata ayah lirih, di wajahnya
terlihat keraguan untuk mengatakannya kepadaku.
“Yey,
ayah serius mau nikah? Aku tidak sabar punya ibu baru.” Jawabku ceria, seperti
baru saja mendapat hadiah.
“Ayah
tidak bilang mau menikah, ayah cuma mengatakan..”
Langsung
ku potong kalimat ayah
“Ayah
nggak usah basa-basi deh. Iya ayah,
aku setuju. Asalkan ayah bahagia, aku pun bahagia. Lalu kapan ayah mau
mengenalkan pacar ayah itu kepadaku?”
“Kamu
ini, ayah kan sudah tua, masak iya pacaran. Iya besok ya aku bawa calon ibumu
ke rumah, tapi ini semua masih di tanganmu. Kalau kamu berubah pikiran dan
tidak merestui ayah. Ayah juga nggak
bakalan melanjutkan hubungan ayah”
“Ah
ayah kelihatannya takut sekali denganku.
Santai saja lah yah, aku kan sudah bilang asalkan ayah bahagia aku pun turut
bahagia. Nah sekarang ayah bahagia nggak
sama dia?” Kembali kutekankan kepada ayahku.
“iya,
ayah nyaman bersamanya. Ayah bahagia.” Jawab ayah
Kupandangi
wajah ayah, sepertinya ia sangat menyayangi wanita itu. Entah siapa aku belum
tahu, yang jelas aku tidak akan tega melarangnya untuk menikah.
Pagi
harinya aku mengajak Dita jalan-jalan. Aku juga mengajaknya untuk kerumahku dan
mendandaniku, karena aku ingin terlihat cantik di depan calon ibu baruku, tapi
ia menolaknya. Katanya ada urusan penting. Malam harinya aku bersiap-siap dandan secantik mungkin untuk
menyambut kedatangan calon ibuku. Ayahku kelihatan sedikit gelisah. Aku
bingung, padahal ia hanya mau mengenalkan wanita kepadaku, tapi seperti mau
mengahadapi atasannya yang sedang marah. Beberapa menit kemudian bel pintu
rumahku pun berbunyi. Aku segera membukanya, tapi ayahku melarangku untuk
membuka pintu. Lalu ayah membuka pintu, tapi ayah tidak langsung mengajaknya masuk rumah tapi ayah
sepertinya berbincang-bincang dulu di ambang pintu. Aku tidak sabar menunggu
ayah. Akhirnya ayah mengajak wanita itu masuk rumah. Tapi bukan calon ibuku
yang kutemui melainkan Dita.
“Loh
Dit, ngapain malem-malem main kesini.
Katanya tadi kamu ada urusan penting. Jangan bilang kamu mau minta tolong aku
ntuk menemanimu pergi. Maaf Dit, aku mau menunggu calon ibuku.” sapaku saat ku
lihat Dita melangkah memasuki rumahku.
“Tidak.
Aku kesini bukan ingin mengajakmu pergi. Aku memang ingin menemuimu.” Jawabnya.
“Nah
ngapain kamu dandan rapi cuma mu main kesini? Sini ah
duduk dulu. Aku lagi nungguin calon ibuku ini.” Tanyaku masih heran dengan
maksud kedatangannya ke rumahku.
“Sebenarnya
aku adalah orang yang mau kamu temui malam ini.” Jawabnya lirih.
“Maksudnya?
Ayah maksudnya apa ini? Aku tidak mengerti. Jangan bilang dia..”
“Iya,
dia calon ibumu, tapi dengar dulu. Ayah tidak akan memaksamu untuk menerima
ini. Ini terserah kamu.” Jelas ayah.
Aku
masih kaget dengan pernyataan Dita. Aku lari ke kamarku dan membanting pintu
dngan keras. Tidak terasa air mataku membasahi pipiku. Sebenarnya tidak ada
yang salah dengan ini, tapi aku masih belum bisa menerima kalau ayahku akan
menikah dengan sahabatku sendiri. Ya, sahabatku, juga perebut dua lelakiku. Pertama
pacaku, Aldi dan kedua ayahku. Aku bingung harus memberi keputusan apa kepada
ayahku. Aku tidak tega melihat ayahku terus-terusan sendiri, tapi aku belum
siap menerima kalau ibu tiriku adalah sahabatku. Setelah aku merenung di kamar
sedikit lama. Aku menyadari aku tidak boleh egois lagi. Ini saatnya aku melihat
ayahku bahagia seperti dulu saat almarhum ibuku masih ada, dan juga Dita,
sahabatku, mungkin ia juga tidak menginginkan hal ini terjadi, tapi inilah
kenyataanya. Aku pun keluar dan berbicara kepada ayah dan Dita. Mereka bahagia
mendengar persetujuanku atas hubungan mereka. Ya, sekarang Dita, sahabat
kecilku adalah calon ibu tiriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar